Ternyata Lessi benar-benar mengajaknya ke sebuah istana! Atau bisa juga disebut kastil megah yang terletak di sebuah bukit terjal di dekat Fussen di barat daya Bavaria. Ia memang pernah mendengar adanya kastil tersebut dari beberapa koleganya, tapi tidak pernah terpikirkan untuk datang sendiri ke tempat ini. Dan sekarang ia hanya berdiri memandangi wanita di depannya yang sudah asyik memotret sejak satu jam yang lalu.
"Ayo, kita berkeliling!" ajaknya antusias, cuaca hari ini cukup panas meskipun angin bertiup sepoi-sepoi sehingga peluh bercucuran di wajahnya yang mulus. Tapi, hal itu tidak mengurangi semangatnya untuk bertualang.
"Sebaiknya kita istirahat dulu," saran Davian.
"Tidak perlu," Lessi menggeleng cepat, masih dengan senyum lebarnya, "Aku belum lelah. Lagi pula, tempat ini sangat indah, sayang kalau dilewatkan begitu saja."
Davian hanya menurut ketika Lessi menarik tangannya dan mengajaknya memutari kastil, sejujurnya ia juga sangat menikmati pemandangan dari atas bukit ini. Berada di atas sini membuat perasaannya menjadi lega, rasanya begitu bebas dan damai.
"Pernah melihat film puteri tidur?" tanya Lessi tiba-tiba.
"Tidak." Davian termenung sesaat, "tapi, mendiang Ibuku pernah menceritakan dongeng itu saat aku masih kecil."
Lessi mengangguk-angguk samar, lalu kembali melanjutkan, "Kastil Neuschwanstein ini adalah inspirasi untuk istana puteri tidur di taman Disneyland. Tapi, sayang sekali, kastil ini mempunyai riwayat yang cukup menyedihkan."
Davian diam dan menunggu isterinya kembali menjelaskan.
"Kastil ini dibuat oleh Raja Ludwig II dari Bavaria yang dinyatakan gila ketika benteng hampir selesai pada tahun 1886 dan beliau ditemukan tewas beberapa hari kemudian. Kisah yang tragis untuk tempat seindah ini," lanjutnya.
"Kau benar, tapi walau begitu, sepertinya tempat ini cukup ramai didatangi wisatawan yang tidak peduli dengan asal muasalnya, seperti kita," komentar Davian.
Lessi melihat sekeliling dan tersenyum puas dengan kebenaran kata-kata suaminya tersebut.
"Nah, sekarang, ayo, kita makan dulu. Aku lapar."
Lagi-lagi Lessi menarik tangan Davian dan setengah menyeretnya ke mobil, mulutnya tidak pernah berhenti berceloteh tentang eloknya pemandangan kota ini di malam hari dan menyebutkan beberapa tempat yang belum pernah didengar Davian sebelumnya. Sepertinya dia benar-benar menyukai petualangan dan pekerjaannya sebagai fotografer lepas.
Mereka menghabiskan waktu makan siang yang sudah terlewat itu di sebuah restauran pasta yang tidak terlalu besar atas rekomendasi Lessi, dan insting isterinya benar kalau ternyata di tempat sederhana ini, makanan yang disajikan benar-benar lezat.
"Dari mana kau tahu tempat ini?" tanya Davian setelah berhasil menandaskan satu porsi pasta di piringnya.
"Dari seorang teman, kami selalu berwisata kuliner setiap kali ada kesempatan," jawab Lessi, namun dari ekspresi wajahnya yang terlihat menerawang, Davian tahu siapa teman yang dia maksud.
"Karena kau sudah berbaik hati menunjukkan tempat makan lezat ini, aku akan menemanimu ke satu tempat lagi. Bagaimana?" Davian berkata dengan ceria.
"Hanya satu?" tanya Lessi cemberut.
"Ya, hanya satu," ulang Davian, "Tubuhku belum terbiasa bepergian sesering ini dalam satu hari. Aku janji lain kali kalau ada waktu luang, kita akan pergi ke tempat-tempat yang belum pernah kau kunjungi."
"Janji?" Mata biru Lessi berbinar. Ia mengangkat jari kelingkingnya pada suaminya.
"Janji." Davian menautkan jari mereka dengan erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sudden Marriage (Wedding Series #2)
RomansaSEDANG DALAM PROSES PENERBITAN. Awal pertemuannya dengan Alecia Western, Davian Origa sudah merasa kalau hidupnya sangat sial. semua yang sudah dia rencanakan ternyata tidak berjalan dengan semestinya, terutama hatinya. Lessi --begitu gadis itu disa...