SM #16

964 58 3
                                    


"Terima kasih sudah mau menemuiku," Louis berkata pelan, jelas menunjukkan kecanggungannya. "Apa kau masih marah padaku?"

Marah? Mungkin kata itu tidak benar-benar tepat menggambarkan bagaimana perasaan Lessi saat itu, ia merasa dikhianati, kecewa, sedih, marah, dan di sisi lain, ia masih sangat mencintai pria yang kini sedang duduk di hadapannya tersebut. Walau bagaimanapun, pria ini yang selama lima tahun terakhir selalu menghiasi harinya dan menemani suka dukanya.

"Maafkan aku," desis Louis lirih, wajahnya menunjukkan penyesalan yang teramat sangat. "Aku mohon."

Lessi menghela napas panjang, berusaha mengabaikan desakan kuat dari dalam dirinya untuk menangis. Ia tidak boleh menangis di depan Louis, ia harus kuat!

"Aku berusaha," jawabnya singkat, ia segera meminum cokelat panasnya untuk menenangkan perasaannya.

"Terima kasih, Less, kau tahu kalau maafmu sangat berarti bagiku." Louis menatapnya lembut, pandangan yang dulu sempat membuatnya jatuh cinta, bahkan sampai saat ini pun masih, "Aku merindukanmu...."

"Aku juga merindukanmu," bisik batin Lessi lirih, namun wajahnya tetap datar tanpa ekspresi.

"Selamat atas pernikahanmu, apakah suamimu memperlakukanmu dengan baik?" tanya Louis berusaha terlihat ceria, meskipun terlihat jelas raut terluka di wajahnya ketika ia mengucapkan pertanyaan itu.

"Tentu saja, Davian sangat baik padaku," jawab Lessi datar.

"Oh, baguslah. Kau terlihat makin cantik," puji Louis tulus.

Louis terlihat gelisah dalam duduknya, wajahnya terlihat kusut dengan janggut yang seperti sudah berhari-hari tidak dicukur. Dulu, Louis selalu memperhatikan penampilannya, tidak seperti ini. Dalam hati Lessi bersyukur karena ia tidak terlihat kacau, ia bahkan mengenakan satu-satunya gaun yang ia miliki, yaitu gaun yang dibelikan Marina sebelum ia pulang ke London beberapa hari yang lalu.

"Bagaimana hubunganmu dengan Bertha?" tanya Lessi, ia tidak bisa menahan rasa penasarannya.

"Kami ..., entahlah. Aku tidak bertemu dengan dia lagi," jawab Louis lesu.

Lessi terbelalak. Jawabannya tidak seperti yang ia perkirakan, namun entah kenapa ia tidak merasa senang saat mendengarnya. Ini sangat ... mengejutkan!

"Bagaimana bisa? Bukankah kalian berdua saling mencintai?" nada suaranya terdengar sinis.

"Yah, aku pikir juga begitu."

"Kau pikir?"

"Aku salah besar, Less. Awalnya aku pikir aku mencintainya dan aku tidak bisa hidup tanpanya. Tapi, hubungan kami hanya sebatas partner seks, kau tahu kalau aku ini seorang lelaki dewasa yang, hmm ... mempunyai kebutuhan dan aku menghormati prinsipmu, tidak ada seks sebelum menikah. Jadi, aku ...."

"Jadi, kau memilih Bertha untuk kau tiduri. Begitu?!" kata Lessi emosi, tidak mempedulikan tatapan beberapa pengunjung café yang melihat ke arah mereka.

"Ya, saat itu aku sama sekali tidak berniat untuk menikahinya, dia yang menggodaku untuk pertama kali dan sebagai pemuda dengan libido tinggi, aku susah untuk menolaknya. Aku sangat menyesal, sungguh. Selama ini aku mencoba menjalani hubungan dengannya, namun dia tidak sama sepertimu."

Louis menunduk menatap tangannya yang berada di atas meja. Kopinya sama sekali belum disentuh.

"Setelah kau meninggalkanku, aku baru sadar kalau ternyata bukan dia yang aku cintai, tapi kau, Less. Hanya kau seorang,maukah kau kembali padaku?" lanjutnya penuh harap.

Sudden Marriage (Wedding Series #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang