SM #13

940 52 1
                                    


Bukan tanpa alasan keheningan tercipta di ruangan VVIP sebuah restauran bergaya Italia di pusat kota Berlin, mereka semua terlibat ketegangan yang diciptakan oleh kedua pria paruh baya yang kini sedang duduk berhadapan sambil memandangi papan catur yang sudah setengah jalan. Kedua pria itu tidak lain adalah Alex Origa dan Robert Western, sedangkan papan caturnya mereka dapatkan dari apartemen Davian yang dipesan khusus oleh Ayahnya tersebut.

"Skakmat!" Alex Origa berseru kegirangan. "Sudah kubilang kali ini aku pasti menang."

Robert mendengus kesal, tidak terima dikalahkan oleh besan barunya tersebut.

"Kita main sekali lagi! Kali ini aku pasti yang akan menang," sungutnya kesal, tangannya mulai memasang kembali bidak catur putih kebanggannya.

"Dad, please... kalian sudah bermain selama 3 jam. Aku bisa mati bosan disini," keluh Lessi, ia kembali menguap untuk ke sekian kalinya.

"Iya, Pa, kami masih banyak urusan. Sebaiknya kita pulang saja," Davian mendukung pendapat isterinya.

"Tidak bisa!" kata Robert dan Alex berbarengan. Dihadiahi pandangan tajam seperti itu membuat mereka berdua diam seribu bahasa. Marina dan Mario sendiri tidak begitu ambil pusing, sudah lama Ayahnya tidak mendapat lawan yang sebanding dalam bermain catur, jadi wajar saja kalau kali ini para pria itu sangat bersemangat.

"Sudahlah, Sayang, sebaiknya kita pulang. Apa kau tidak kasihan pada mereka?" Lucy western segera menengahi keadaan, sejak tadi wanita itu hanya menjadi penonton setia sambil sesekali menyemangati suaminya. "Kau bisa mengundang besan kita ke hotel untuk melanjutkan permainan di sana. Bagaimana?"

Robert memandangi puterinya yang sedang menatapnya dengan pandangan memelas, akhirnya ia menghela napas berat tanda mengalah.

"Bagaimana, rival? Kita lanjutkan permainan di hotel saja," ajak Robert.

Alex Origa berpikir sejenak, "Baiklah, kali ini aku tidak akan kalah lagi."

"Kita lihat saja nanti."

Kedua pria itu membereskan bidak caturnya dengan sangat hati-hati lalu berjalan sambil tak henti-hentinya menyombongkan diri atas permainan masing-masing dengan bangga. Semuanya hanya memandangi kedua pria yang tidak lagi muda itu sambil menggeleng-geleng kepala.

Setelah membayar semuanya, Davian segera pamit sambil menggandeng tangan isterinya.

"Kak, sebaiknya kalian jangan pulang dulu, para wartawan itu masih setia menunggu di luar gedung apartemenmu," Marina memperingatkan.

"Ya, kami akan pulang agak malam. Kalian bawa saja kuncinya." Davian mengerling sambil menyerahkan kunci apartemen yang diterima dengan senang hati oleh Marina.

"Kita mau ke mana?" tanya Lessi ketika mereka sudah berada dalam mobil.

"Planterwald," jawabnya singkat.

"Hei, rumah kontrakanku berada di sana."

"Aku tahu. Bukankah aku sudah bilang kalau kita akan mengambil barang-barangmu?"

Lessi memandang suaminya dengan curiga, "Seingatku, aku belum pernah memberitahumu kalau aku tinggal di sana. Apa kau menyuruh mata-mata untuk menyelidikiku?"

"Aku tidak akan melakukannya kalau pun aku mau, karena aku tahu, kau pasti akan marah kalau aku melakukan hal itu. Albert yang memberitahuku," jawab Davian santai.

"Oh, maaf," gumam Lessi malu.

Davian hanya tersenyum melihat ekspresi isterinya, cepat sekali suasana hatinya berubah. Dia bisa marah dengan tiba-tiba, lalu sedetik kemudian ia bisa minta maaf dengan tulus kalau memang ia merasa bersalah. Luar biasa!

Sudden Marriage (Wedding Series #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang