"Ya, Tuhan, Lessi!" Louis segera berlari dan membantu Lessi berdiri, gadis itu bersandar pada tubuhnya karena kakinya sudah terasa kebas.
"Apa yang terjadi? Apa kau sakit?" tanya Louis panik.
Lessi hanya menggeleng, ia berusaha menghapus air matanya dan tersenyum namun sia-sia. Air matanya tidak mau berhenti dan mulutnya terlalu kaku untuk bisa tersenyum dan yang paling parah ... hatinya sakit.
"Kau membuatku khawatir. Bicaralah sesuatu, Less!" teriak Louis frustrasi.
"Dia ... Dia ...," ucap Lessi terbata.
Louis berdiri mematung di depannya.
"Apa kau sudah mengatakan padanya?"
Lessi menggeleng lagi. "Belum, aku tidak."
"Tidak apa-apa, Less. Aku akan menunggumu sampai kau siap."
Louis memeluk wanita itu perlahan. Ia sudah mengerti, sangat mengerti. Hati Lessi kini terbagi, tapi ia tidak mau peduli. Lessi harus tetap menjadi miliknya, selamanya akan menjadi miliknya.
Sementara itu, Davian hanya bisa memandangi dari jendela mobilnya yang gelap. Ia bisa melihat dengan jelas bagaimana mereka berpelukan melalui pintu yang terbuka lebar. Seharusnya ia tidak kembali ke sini. Seharusnya ia tidak perlu mengkhawatirkan keadaan Lessi karena sekarang ia sudah bersama kekasihnya. Seharusnya ia tidak perlu kembali untuk memberikan kalung sialan itu.
Davian memegang kotak pipih berwarna biru itu dengan kesal lalu melemparnya ke kursi belakang. Tanpa berkata apa-apa, ia melajukan mobilnya secepat yang ia bisa lakukan dalam keramaian lalu lintas malam itu. Ia hanya ingin pergi sejauh mungkin dari sana.
Setelah puas mengebut keliling kota dengan mobilnya, tanpa sadar hari sudah lewat tengah malam. Ia parkir di sebuah club eksklusif yang kelihatan sangat mahal. Sama seperti malam sebelumnya, ia ingin menghabiskan waktu mendengar musik yang memekakkan telinga untuk mengusir rasa sesak di dadanya. Tapi, bedanya, kali ini ia ingin minum sampai benar-benar mabuk sungguhan.
"Wiski," pintanya pada bartender.
Davian segera meneguknya sampai habis dan terus berulang sampai entah gelas yang ke berapa. Pandangannya mulai kabur dan sekelilingnya terasa berputar. Bunyi musik hampir menulikan telinganya. Sejak dulu ia memang tidak suka keramaian, tapi ini lebih baik daripada harus berdiam diri di apartemennya yang kosong. Itu malah akan semakin mengingatkannya pada Lessi.
"Davian?"
Samar-samar ia merasa ada yang memanggilnya. Ia menoleh dan mendapati semua orang berputar mengelilinginya. Efek alkohol. Sial!
"Kau Davian, kan? Apa kau baik-baik saja?" tanya seseorang yang berdiri di sampingnya.
Ia melihat seorang wanita, meskipun samar-samar dan lampu yang agak gelap, tapi ia belum terlalu mabuk untuk tidak bisa membedakan mana pria dan mana wanita. Ia merasa pernah bertemu dengan wanita itu sebelumnya, hanya saja ia tidak bisa ingat di mana.
"Aku akan mencuci muka dulu," kata Davian, ia beranjak dari tempat duduknya dan merasakan dunia kembali berputar sebelum ia kehilangan kesadarannya.
***
Davian terbangun dengan kepala berdenyut. Ia mengerang pelan, berusaha memijit pelipisnya dengan jari-jarinya sebelum membuka mata. Yang pertama ia lihat adalah kamar bernuansa putih bersih, namun ia yakin kalau sekarang ia tidak berada di rumah sakit. Tidak ada bau obat yang menusuk hidungnya. Dan ia berbaring di atas kasur king size yang sangat nyaman, bukan ranjang rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sudden Marriage (Wedding Series #2)
عاطفيةSEDANG DALAM PROSES PENERBITAN. Awal pertemuannya dengan Alecia Western, Davian Origa sudah merasa kalau hidupnya sangat sial. semua yang sudah dia rencanakan ternyata tidak berjalan dengan semestinya, terutama hatinya. Lessi --begitu gadis itu disa...