1

161K 2.8K 56
                                    

Benji ini makhluk jenis apa? Selalu tahu apa yang sedang Cessa kerjakan. Seperti saat ini, saat Cessa sedang kerepotan mempersiapkan kepulangannya ke Jakarta setelah satu minggu berada di Paris menghadiri seminar menulis internasional.

"Pelan-pelan aja packing nya. Semua pasti masuk kedalam kopermu," Itulah kalimat pembuka dari Benji setelah Cessa memutuskan untuk menerima teleponnya. "Jangan stress gitu, ah. Ini cuma packing, bukan mau menikah."

Cessa menepuk keningnya dan berusaha rileks, meskipun satu tangannya tetap berusaha memasukkan semua barang ke dalam tasnya. "Kok kamu—"

"Bisa tahu? Please, Cess, aku ini kakakmu. Masa kebiasaan adiknya sendiri aku nggak tau? Tarik napas Cess, rileekksss... bagaimana keadaanmu? Udah kemana aja selama di Paris? Museum Louvre? Pont Des Arts? Arc De Triumphe? Notre Dame? Montmartre? Atau jangan-jangan ke menara Eiffel pun kamu belum kesana? Gimana oleh-oleh buat aku? Suatu barang di Champs-Élysées?" Benji benar-benar membuat Cessa tersenyum berhenti mempersiapkan kepulangannya ke Jakarta.

"Aku kesini untuk ikut seminar menulis Ben, bukan untuk jalan-jalan. Oleh-olehmu... menyusul, ya? Aku lupa ke Champs-Élysées tadi," Cessa berdiri di hadapan jendela kamarnya dan memandang keluar, sedari tadi hujan turun membasahi Paris. Membuat orang-orang malas untuk beraktivitas. "Jam berapa di sana sekarang? Kok kamu belum tidur?"

"Nggak penting sekarang jam berapa. Cess, aku rela beliin kamu tiket pulang ke Jakarta dua hari setelah acara seminar selesai itu alasannya agar kamu bisa jalan-jalan, nikmati hidupmu, Cess!"

"Oke... oke...," Cessa selalu memilih mengalah apabila Benji sudah rela melakukan sesuatu untuk dirinya.

"Kamu naik pesawat jam berapa nanti?"

"11.30 malam. Ide yang bagus sekali kamu beliin aku tiket pulang tengah malam. Nggak direct, lagi. Harus ke Dubai dulu dan pindah maskapai," kata Cessa sambil kembali duduk di hadapan tasnya.

"Ide yang bagus, 'kan? Kamu masih punya waktu untuk beliin pesananku," terdengar suara berharap dari ujung telepon sana.

"Kedengerannya kamu berharap banget sih?" goda Cessa.

"You know everything, Cess."

"Oke, aku bakalan jalan-jalan sebentar setelah check out dari hotel nanti. Cuma ingin memastikan apakah kota ini cukup pas denganmu atau tidak."

"CESSA ROBERTS!"

Buru-buru Cessa mematikan panggilan itu sebelum terjadi perang dunia ke tiga. Cessa kembali tertawa saat membayangi wajah kakaknya yang kesal karena ulahnya. Sebaiknya ia bersegera membereskan seluruh barang dan bersiap-siap kalau tidak mau hal buruk yang biasa terjadi pada dirinya, terjadi saat ini. Ya, ketinggalan pesawat.

***

Cessa Roberts, perempuan yang—tidak terlalu—tinggi, berwajah manis namun garis-garis wajahnya tegas. Ia keturunan Jakarta dan California. Masa kecilnya ia habiskan di Los Angeles sampai saat ia menamatkan sekolah dasar, ia dan keluarganya harus pindah ke Jakarta karena papa Cessa dipindah tugaskan ke sana. Saat ia masuk kelas 2 sekolah menengah pertama, ia mulai menjauhi semua sosial media, bahkan TV sekalipun. Ia hanya berteman dengan novel, dan melakukan kebiasaannya—menulis. Setelah papa Cessa memutuskan untuk pensiun dini dan kembali ke Los Angeles, Cessa dan kakaknya, Benji, memutuskan untuk menetap di Jakarta sampai sekarang.

***

Benji meletakkan ponselnya sesaat setelah Cessa memutuskan panggilan darinya. Lelaki di hadapannya kini tersenyum dan terlihat sedikit lebih lega dibandingkan saat ia datang ke rumah Benji tadi.

HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang