3

38.7K 1.3K 8
                                    

Matahari pagi yang menyeruak masuk dari jendela kamar membuat Cessa terbangun dari tidurnya. Setelah Ken keluar dari apartmennya kemarin, ia sama sekali tidak keluar kamar. Dengan setengah kesadarannya, Cessa mencoba mengambil ponselnya dan mengecek apakah Nayla—boss Cessa, sekaligus teman saat mendaftar sekolah menengah atas— menghubunginya.

Setelah melihat ponselnya, dengan secepat kilat Cessa bersiap-siap untuk segera pergi kekantor sebelum ia diberi peringatan kedua. Ya, Cessa bekerja di kantor redaksi Hello Magazine, sebuah majalah ternama di Indonesia sebagai seorang reporter.

***

"Lo telat satu menit duapuluh tiga detik."

Kalimat itu yang menyambut Cessa di ambang pintu. Seperti biasa, Cessa memberikan senyum terindahnya kalau ia sudah kedapatan terlambat.

"Maaf, Nay. Gue terlalu lelah sampai seharian nggak bangun, udah kayak mati suri."

"Itu bukan alasan, Cess. Duduk," Kata Nayla mempersilahkan Cessa duduk. "Untungnya lo teman gue. Kalau bukan, pasti gue udah minta surat resign lo deh."

"Sekali lagi maafin ya, Nay. Kasih gue hukuman deh nggak masalah. Toh ini memang kesalahan gue."

"Oke, gue bakal kasih lo hukuman yang sesuai dengan kesalahan lo ini," Kata Nayla. Ia lalu mengeluarkan satu map berisi berkas. "Hukumannya adalah, pertama, lo harus membuat sebuah tulisan tentang seminar menulis internasional yang lo datangi di Paris kemarin dan kedua, lo harus mewawancarai orang yang ada di dalam berkas ini. Masalah appointment biar gue yang ngurus. Deadline wawancara satu minggu terhitung dari hari ini, sedangkan tulisan seminar internasional tiga hari mulai hari ini. tulisan lo akan dimuat di majalah bulan depan."

Cessa mengambil berkas itu dan mulai membacanya. Nayla tahu Cessa tidak membuka jejaring sosial bahkan televisi sekalipun, oleh karenanya semua informasi lengkap ada di dalam berkas itu.

"Gue harus... mewawancarai orang ini?" tanya Cessa yang terkejut sambil menunjuk foto narasumbernya.

Nayla mengangguk. "Sanggup?" Cessa terdiam, entah ia sanggup atau tidak. "Dengan lo diam bisa gue anggap lo sanggup menjalani kerjaan kali ini. Di sana sudah tertera nomor dan email dari manajernya. Appointment udah gue urus, tinggal elo tentuin aja mau bertemu dimana."

"Kenapa sih lo selalu kasih gue kerjaan yang waktu pengerjaannya sempit begini?"

"Karena gue tau elo mampu, Cess."

"Kali ini gue nggak mampu, luluh lantah ini badan."

"Nggak ada alasan, ini hukuman yang elo minta tadi. Okay, Cess, see you on Friday 8am."

"Jam delapan, Nay?!"

"Mau dikerjain atau gue tahan gaji lo dua bulan?"

Cessa hanya menghela nafas dan beranjak dari kursinya dengan membawa map berisi berkas itu. Satu minggu, dua artikel, badan sedang tidak bisa berkompromi, lengkap sudah penderitaan hidup Cessa satu minggu kedepan.

Setelah keluar dari kantornya, Cessa melangkahkan kakinya ke salah satu kedai kopi langganannya yang tidak jauh dari kantor. Hanya sekitar sepuluh menit dengan jalan kaki. Ia tidak ingin naik kendaraan umum karena malah akan lama di jalan karena harus memutar.

Setelah mendapatkan minumannya, Cessa memilih tempat duduk yang nyaman tepat disebelah jendela kedai kopi ini. Setelah tegukan pertama, ia mulai membaca berkas sang narasumbernya itu. Arnold Hujan Baskara atau yang lebih dikenal dengan Arnold Baskara, nama itu yang membuatnya terkejut tadi. Setelah membacanya, Cessa baru tahu kalau Hujan adalah seorang model ternama di Indonesia dan ia baru saja menjadi model tetap sebuah merek pakaian ternama di seluruh dunia. Hujan juga mempunyai grup bernama WARM yang beranggotakan para social media star. Cessa juga tidak lupa membaca potongan artikel tentang Hujan yang diberikan Nayla tadi sebagai bahan wawancaranya.

Di halaman terakhir berkas itu ada biodata dan kontak manajer Hujan. Ia sempat memutar-mutar ponsel di tangannya sampai akhirnya ia menekan angka nomor telepon manajer itu.

"Halo, selamat siang," Terdengar suara dari ujung telepon yang terhubung.

"Selamat siang. Apa benar ini Budi, manajer Arnold Baskara?"

"Benar. Maaf, ini dengan siapa saya berbicara?"

"Perkenalkan, saya Cessa Roberts dari Hello Magazine. Rekan saya, Nayla sudah menghubungi anda untuk janji bertemu."

"Benar, wawancara dilaksanakan hari Jumat pukul sembilan pagi di Kedai Kopi Kita. Tolong jangan terlambat, ya."

Jadi Nayla sudah nentuin tempat wawancaranya? Batinnya.

"Nona Cessa?"

"Oh, ya. Baik, jam 9 pagi di Kedai Kopi Kita. Terimakasih pak Budi," lalu Cessa mengakhiri panggilannya.

Cessa sedikit membanting ponselnya di atas meja. Ia menghempaskan punggungnya di kursi tempatnya duduk. Tidak ada waktu senggang untuk Cessa satu minggu kedepan. Dan pastinya, ia harus lembur untuk menyempurnakan artikel yang ditulisnya.

***

Kamis malam, yang artinya deadline artikel seminar menulis internasional hanya tinggal beberapa jam lagi. Selama dua hari ini Cessa hanya tidur selama enam jam dan sudah tidak keluar dari apartment nya untuk mengerjakan artikel tersebut. Ternyata bekerja dengan kondisi tubuh tidak fit sangat tidak menguntungkan untuk Cessa. Namun mau bagaimana lagi.

Ponsel Cessa berdering, ada panggilan Skype dari Ken. Mau tidak mau Cessa menerimanya. Hitung-hitung, bisa jadi teman mengerjakan tigasnya malam ini.

"Cess, lo kumal amat?" itulah kalimat pembuka dari Ken.

"Lo nge-skype gue cuma mau menghina?" tanya Cessa tanpa memalingkan wajahnya dari layar laptop.

"Lo masih sibuk sama artikel? Istirahat dulu," pertanyaan Ken tidak dijawab oleh Cessa. "Cessa—"

"Kendeka Allen, please, kalau lo cuma mau berisik nyuruh gue istirahat mending nggak usah ngehubungi gue!" Nada bicara Cessa meninggi, efek dari kurang tidur dan stress dengan kerjaannya.

"Coba lo lihat pantulan diri lo di cermin, deh. Elo udah mirip zombie."

Cessa kembali tidak merespon Ken, melainkan kembali sibuk dengan pekerjaannya. Ia tidak mau membuang-buang waktu.

"Gue kesana deh, ya."

"No, Ken."

"Kenapa?"

"Kalau lo kesini, yang ada gue makin pusing. Lo ribut. Just accompanied me from where you are."

"Baiklah, kalau itu maumu."

Benar saja, setelahnya Ken melakukan aktivitasnya lagi seperti sedang tidak terhubung oleh siapapun. Walaupun sesekali ia masih menanyakan hal yang tidak penting ke Cessa. Ia makan, teriak sambil main PS, sampai bernyanyi sambil main gitar. Beberapa jam kemudian, keadaan kembali hening. Cessa menatap layar ponselnya dan mendapati Ken sudah tidur sambil tengkurap di depan layar laptop nya. Cessa tersenyum melihatnya, ia meninggalkan sejenak pekerjaannya dan mengambil ponselnya.

"Ken...," tidak ada jawaban dari Ken. Cessa berniat memutuskan sambungan skype nya karena Ken sudah tertidur pulas. "Good night."

"Jangan di mati... zzzzz"

Cessa tersenyum melihat Ken yang tiba-tiba bicara seperti itu dengan seperempat kesadarannya. Niatan Cessa tadi diurungkannya, dan ia kembali menaruh ponselnya di sisi laptop, membiarkan suara dengkuran Ken menemani Cessa menyelesaikan artikelnya.

HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang