Dua Puluh

3.8K 131 27
                                    

Pulang sekolah, salsha malas pulang ke rumah. ia ingin main ke rumah steffi

Tadi di sekolah ia sudah menelepon Mama, izin bahwa ia akan pulang sore.

Selama perjalanan, keduanya nggak bicara satu kata pun. Salsha takut steffi makin sedih perihal kiki, sedangkan steffi sendiri takut kebohonganny terbongkar.

Sebenarnya, setiap kali berbohong kepada salsha, steffi selalu merasa bersalah.

Bahkan ia selalu mengutuki dirinya sendiri. Kenapa harus berbohong pada sahabatnya sendiri? Lagi pula, sebenarnya salsha adalah orang yang paling berhak tau semua kebenaran yang ada. Tapi tetap saja, setiap kali pikiran untuk jujur itu muncul, rasa khawatir itu pun ikut-ikutan muncul. Steffi takut salsha tambah terluka.

Begitu sampai di rumah, steffi membulatkan hati. Semuanya terlanjur terjadi.

Sekali berbohong, ia memang harus melanjutkan kebohongan-kebohongan lainnya.

"Lo nggak mau cerita apa-apa tentang kiki?" tanya salsha memulai pembicaraan saat mereka berdua sudah berada di kamar steffi.

Steffi menghela napas panjang. "Apa yang pengen lo ketahui?" sahut steffi, berharap salsha berhenti bertanya.

"Dulu gue kenal nggak sama kiki?" tanya salsha polos.

Steffi terenyak. Hatinya terasa pedih. Bisa-bisanya salsha bertanya hal seironis itu dengan wajah sangat polos. Andaikan kiki ada di sini dan mendengar pertanyaan salsha barusan, tidakkah kiki akan merasa sedih? Dilupakan oleh orang yang disayangi, apakah kiki masih bisa tersenyum ramah seperti biasanya? Oh, tidak. Walaupun kiki sudah nggak ada, salsha harus tetap mengenal kiki

Kalo nggak bisa secara terang-terangan, steffi bisa mencari cara lain yang lebih halus. Dan kesempatan itu sudah ada di depan mata!

"Steff...?" salsha menyentuh bahu steffi dengan lembut.

Steffi menatap salsha dengan yakin. "lo kenal baik sama kiki."

"Oya?" salsha sedikit kaget.

"Hm. Sebenernya orang yang di mimpi lo itu mungkin kiki. Secara fisik, tinggi

Kiki hampirr sama dengan aldi. Dia juga cakep. Jago basket pula. Waktu pertama kali gue ketemu dia, gue pikir orangnya sombong. Tapi ternyata pas dia senyum, saat itulah gue tau kalo dia memang orang yang tepat..."

...untuk lo, Ca! Tambah steffi dalam hati.

"Karena itu lo jatuh cinta sama dia?" tanya salsha, mulai berbinar-binar.

Steffi makin nggak tega melihat wajah salsha yang terlihat bahagia itu. Hatinya makin mencelos. Steffi kembali menerawang. "Bukan Cuma karena itu.

Sebenernya gue udah jatuh cinta sama dia sejak sembilan tahun yang lalu..."

"Wow! Gile! Lo jatuh cinta sama dia pas SD?!" sela salsha, antara nggak percaya dan kagum.

Steffi tesenyum tipis. Yap, gue juga kaget, Ca, pas denger hal itu pertama kali dari mulut lo duluitu
"kiki is my hero. Dia yang nyelametin gue waktu gue nangis ketakutan. Bagi gue, mungkin dia bukan yang pertama, tapi pasti yang terakhir," lanjut steffi, yang sebenarnya mengulanng kata-kata Salsha dulu.

"Terus, kenapa kalian putus?" Salsha makin penasaran.

"Kenapa putus?" ulang steffi, bingung harus menjawab apa. "Sebab, terkadang kita nggak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan. Gue menginginkan dia, tapi takdir berkata lain."

Salsha tersenyum prihatin. "Terus, sekarang dia di mana?"

Kiki di mana? Andaikan steffi tahu. Andaikan ada orang yang bisa menjelaskan di mana kiki sekarang ini. Andaikan steffi juga bisa mengucapkan pertanyaan itu sepolos salsha. Andaikan salsha tahu bahwa semua yang diceritakan oleh steffi barusan adalah tentang salsha dan kiki! Steffi nggak bisa lagi menutupi rasa sedihnya. Matanya mulai berkaca-kaca.

Perlahan ia menunduk, nggak berani menatap mata salsha yang polos.

"Seandainya gue tahu, Ca," ujar steffi lirih

Maaf nextnya lama

Vote&commant ☺

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 12, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kamu Yang Ku TungguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang