~Kualitas Ibadah~

472 9 0
                                    


"Berjumpa dengan Allah?"

Kakek termangut-mangut mengerti cucunya ini sedang galau luar biasa, "Kenapa cucu kakek ini menginginkan pertemuan dengan Allah, yakin bisa bertemu dengan Allah?" Tanya dengan nada yang menyindir.

Aku menjawab, "Yakin, Allah itu ada kek, Allah pasti ingin bertemu dengan hamba-Nya yang baik." Ujarku sambil cemberut.

"Apa benar hanya cukup dengan baik saja?" Tanyanya kembali.

Aku terdiam rasanya tidak cukup hanya dengan baik saja, tapi apalagi ya?

"Mengenai hubungan manusia dengan Allah bukan hanya niat dan keinginan saja. Iman itu artinya percaya, kita harus percaya bahwa Allah itu ada dan pencipta segala makhluk. Bagaimana kamu membuktikannya?"

Aku menggelengkan kepala sambil duduk di kursi reot milik kakek.

"Iman itu berasal dari hati yang membenarkan, lisan yang melafadzkan dan amal perbuatan." Kakek berkata sambil menggerakkan tangan ke atas dan bawah seperti sedang berceramah di mesjid saja.

"Rawiyah percaya pada Allah??" Intonasi meninggi, Aku langsung mengangguk. "Sudah bersyahadatkan??" Aku juga mengangguk.

"Sholatnya bagaimana? Puasanya bagaimana? Suka bohong tidak? Ikhlas tidak? Sholatnya saja subrang* (Subuh kabeurangan artinya Subuh Kesiangan) itu dikatakan yang benar-benar mau bertemu Allah?" Tanya Kakek dengan sindiran-sindiran panas, bagaikan bola-bola api yang siap menerkam dan membakar muka karena rasa malu yang luar biasa.

"Katanya cinta pada Allah, tapi sholat saja tunggu sampai akhir waktu, puasanya banyak tidur dan baca Al-Qur'an juga jarang. Benar nih cinta pada Allah? Jangan-jangan cinta monyet, cinta palsu hehehe.." Kakek tertawa sendiri.

Wah Kakek benar-benar membuatku malu, kemudian wajah ini berubah cemberut melihat tingkah Kakek sedangkan hati merenungi setiap katanya.

"Apakah cintaku palsu Ya Allah? Cinta palsu sama seperti si monyet?? Terus apa bedanya Aku dengan monyet yang suka cinta-cintaan palsu??" Kata batin sebelah kiri.

"Kalau kamu tidak mau jadi monyet, buktikan! Jika cintamu itu cinta yang tidak palsu. Setidaknya tidak terlalu berpura-pura!" Jawab batin sebelah kanan.

"Malas sekali bangun subuh-subuh! Masih mengantuk....!" Aku mengomel sendiri seperti orang gila.

Daripada setress lebih baik menemui Bibi yang sedang merapihkan baju di teras depan. Aku mengambil beberapa pakaian untuk membantunya.

"Bi, kenapa susah ya untuk ibadah dengan benar kepada Allah? Malas sekali ya?" Kembali berkeluh kesah kepada bibi.

"Ya, itulah manusia ibadah satu tahun saja manusia sudah mengeluh. Capelah, ngantuklah, dan lain-lain."

"Benar Bi..." Aku mengaku.

"Sedangkan Allah yang memberi kita nikmat di siang dan malam tidak pernah merasa mengeluh ataupun cape. Maha Besar Allah mustahil memiliki sifat seperti itu.".

Bibi menghela nafas panjang, dia terlihat sedang mengingat sesuatu.

"Kalau tidak salah ada sebuah ayat yang mengatakan "Maka ni'mat Allah manakah yang kamu dustakan?" Lanjutnya berbicara.

Tertegun dengan ayat "Ni'mat Allah manakah yang kamu dustakan?" Sangat sedih rasanya mendengar kalimat itu, Aku pandangi mata Bibi yang mulai berkaca-kaca.

"Dengan ni'mat-Nya kita melihat, dengan ni'mat-Nya pula kita bisa berjalan. Masih kurangkah Allah memberikan nikmat? Manusia untuk melaksanakan sholat lima waktu tepat pada waktunya saja sudah mengeluh, sudah bagaikan paling suci dihadapan Allah!"

Di Atas Langit Cinta (Self-Published)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang