Bisik-bisik Cinta

163 7 0
                                    


Dalam dinding hati yang tersimpan adalah puing cinta yang sedang berusaha mempertahankan siapa penguasanya. Aku terlahir untuk mengetahui siapa pencipta diri ini? Banyak laki-laki yang Aku tolak tanpa memberikan kesempatan untuk mereka mengenali siapa Aku sebenarnya. Semua itu karena kesibukan dan hati yang masih menyimpan bekas luka yang lama. Melupakan seseorang yang kita cintai ternyata tidak segampang yang Aku kira. Semua menanyakan siapakah calon pendamping hidup Rawiyah? Siapakah laki-laki yang dapat menaklukkan hati Rawiyah? Padahal tidak sesulit yang mereka kira, Aku kembalikan semuanya pada Allah. Hati ini mungkin sepi dari cinta makhluk tetapi begitu damai dengan cinta pada Allah.

Ibu menelepon dari Purwakarta, "Rawiyah...semalam ada yang datang ke rumah kita, hmm...bagaimana jika kamu bertemu satu kali saja dengannya..." Belum sempat Ibu melanjutkan, Aku putus percakapan dengan berkata, "Katakan jika Rawiyah belum siap...sudah ya Bu masih banyak pekerjaan yang harus Rawiyah kerjakan.."

Ibu menghela nafas panjang, dia kemudian menghampiri Bapak yang sedang menonton berita.

"Bagaimana Bu?" Tanya Bapak seraya mematikan televisi.

Ibu menggelengkan kepala, tersimpan kekecewaan yang sangat dalam.

"Putri kita sudah menginjak 26 Tahun, dia hanya bolak-balik Jakarta dan Bandung saja tanpa memikirkan calon pendamping hidup."

Ayah kemudian berdecak, "Zaman sekarang banyak wanita yang umur diatas 30-an yang masih lajang. Itulah wanita modern zaman sekarang Bu, memang zaman kita dulu keluar SD saja sudah dinikahkan. Pokoknya jangan khawatir pada Rawiyah."

Ibu melihat keluar jendela, dia melamunkan kata-kata Bapak dengan hati seorang Ibu yang was-was terhadap nasib putrinya.

Sedangkan Aku terus berjubel dengan segudang pekerjaan yang tiada pernah ada hentinya. Siang menjadi tempat peraduan terhadap dunia dan malam sebagai malam peraduan pada-Nya. Aku melupakan jati diri sebagai wanita, semua sahabat telah memberikan undangan walimah mereka. Bahkan kabar terbaru mengenai Shofiyah yang tengah menanti kelahiran buah hati bersama suaminya. Aku mendo'akan semoga anak Shofiyah lahir dengan lancar serta selamat beserta Ibunya.

Tiba-tiba butik ramai kedatangan tamu spesial, putra dari Ibu Zahra. Dia diminati banyak karyawan wanita di butik, selain tampan juga mapan. Wanita mana yangg akan menolak laki-laki seperti Adrian. Sekitar satu bulan ini Adrian lebih sering ke Bandung, kami saling mengenal semenjak Ibu Zahra menempatkan kami dengan pekerjaan sama di Bandung. Adrian ramah dan sopan santun seperti ibunya, dia adalah putra kedua dari keluarga konglomerat. Hanya saja kemodernan membuat anak Ibu Zahra jauh dari pemahaman agama. Pertama dia heran mengapa Aku selalu sempat melaksanakan sholat lima waktu meski kami sedang dalam perjalanan bisnis. Bahkan dalam keadaan yang genting sekalipun, meskipun pernah Aku berlinangan air mata karena waktu sholat yang mepet. Mau tidak mau Adrian mengikuti untuk singgah di mesjid terdekat dan melaksanakan sholat.

"Hai Rawiyah, sudah lama kita tidak bertemu..." sahut Adrian yang senyam senyum sendiri. Padahal baru kemarin kami bertemu.

"Wa'alaikumsalam...bukankah salam jauh lebih tepat?" Aku kembali fokus pada katalog.

"Oh..maaf...ustadzah....Assalamu'alaikum..." Terkekeh dia tersipu malu. Aku menjawab, "Wa'alaikumsalam..."

"Namaku Adrianto Nuh Nabawi...namaku memang ada nuansa religiusnya maka dari itu Aku ingin belajar sedikit demi sedikit tentang agama darimu Rawiyah." Ungkap Adrian tanpa basa-basi.

"Lebih baik kamu pesantren saja, disana banyak segudang ilmu yang bisa kamu pelajari..."

"Hmmm...boleh juga ide yang bagus, hanya saja umurku sudah 29 tahun. Masa Aku harus pesantren? Terus pesantren mana yang mau menerima murid yang sudah berumur sepertiku? Paling mereka tersenyum dan menyuruh menikah." Sambil menyerobot katalog yang sedang Aku baca, Adrian memang orang yang selalu menjengkelkan karena dia selalu minta diperhatikan. Sebenarnya Aku tidak suka keakraban seperti ini, kami sering bertemu karena masalah pekerjaan. Namun kedekatan ini membuat Aku merasa tidak nyaman. Selain karyawan Ibu Zahra yang bersikap sinis, mereka selalu ingin tahu mengenai hubungan kami. Mereka pikir kami pacaran. "Astaghfirullah, Aku harus menjaga jarak mulai dari sekarang". Gumam hati yang terus mengoceh tidak karuan.

Di Atas Langit Cinta (Self-Published)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang