Penyesalan

143 5 0
                                    


"Apa penjahit butik???" Tanya kedua orangtua dengan serentak dan berhenti melanjutkan makan.

"Jikalau Ibu Zahra itu konglomerat..wah itu kesempatan emas buat keluarga kita keluar dari himpitan ekonomi.." Bapak mengoceh tidak karuan.

"Bagaimana tidak terhimpit! Coba Bapak lihat kerjaan Bapak sehari-hari apa cuma gawe serabutan.." Ketus Ibuku.

"Serabutan juga kan tidak mencuri hak orang lain, ngapain jadi PNS tapi gaji saja ga cukup buat sekolahin anak ke universitas kan tidak bisa jadi anggota DPR." Bantah Bapak membuat situasi menjadi panas.

"Ya Bapak usahalah jika mau anak ke universitas jangan kerjanya ngomel dan ngeluh terus.."

Kemudian Aku berdiri membuat semua terdiam dan melihat. Aku sangat kecewa terhadap mereka, selalu ribut masalah tersebut. Aku segera pergi menuju kamar dan tidur sambil memeluk guling. Langkah kaki terdengar masuk ke kamar, Ibu duduk disamping seraya mengelus bahu ini dengan kedua tangannya.

"Jangan sedih Rawiyah..Ibu dan Bapak itu sudah biasa memang selalu berbeda pendapat. Tetapi coba kamu lihat, kami ribut hanya sebentar bukan? Ya..sebenarnya Ibu jengkel sama Bapakmu. Tapi meskipun begitu Bapak sangat bangga padamu, Ibu juga sangat bangga padamu..karena ditengah kesulitan kami..ada kamu yang selalu menguatkan kami..." Ucap ibu membuatku sangat sedih.

Aku tidak bisa menangis di depan mereka, karena jika menangis akan membuat hati mereka jauh lebih terluka. Aku bangun dan tersenyum pada Ibu, kemudian kami kembali melanjutkan makan bersama.

Esok hari Aku menelepon Ibu Zahra, dengan senang hati beliau mengangkat telepon dariku. Beliau begitu gembira ketika tahu jika Aku bersedia bekerjasama dengan beliau dibutiknya.

"Pokoknya..Rawiyah akan diberikan fasilitas tempat tidur disini bersama staff lainnya, sekarang kamu ada dimana?"

"Saya di Purwakarta.."

"Loh kok tidak di Bandung?" Tanya beliau heran.

"Di Bandung saya hanya merantau menjadi santri..."

"Oh kalau begitu Ibu akan menjemput kamu ke Purwakarta. Bagaimana?"

"Baiklah.."

"Oke sebentar di cek dulu jadwal ibu ya.. hmmm... besok..besok..sekitar jam 13:00 siang bagaimana?"

"Boleh bu...."

Segera kami akhiri percakapan tersebut, betapa lega dan bahagianya hati ini. Merasa semua itu bagai sudah tergambar dipelupuk mata, sudah tidak sabar bertemu dengan Ibu Zahra.

Tiba-tiba Hp berdering, Aku melihat siapa yang memanggil. Ketika Aku lihat namanya "Shofiyah calling..." Aku mengambil nafas dalam-dalam dan perlahan-lahan mengangkat telepon.

"Wa'alaikumsalam, ada apa Shofiyah..."

Lama sekali tidak terdengar sahutan, kemudian bergetar tangan ini ketika mendengar Shofiyah sedang menangis, dia tidak bercakap apa-apa namun,

"Rawiyah..dapatkah kita bertemu hari ini ditempat biasa kita bertemu?..." Ucapnya begitu terbata-bata.

"Baiklah..tetapi kenapa kamu menangis?" Aku merasa sangat khawatir padanya

"Sudahlah nanti kita bahas disana..." Nadanya begitu datar. Aku merasa kaku apabila harus berhadapan dengan Shofiyah, masa lalu serasa kembali menyuat dan luka yang dahulu terasa kembali. Tidak beberapa lama kami saling bertemu, disebuah kebun bammbu dekat sawah kami sering menghabiskan waktu bercanda dan lainnya.

"Assalamu'alaikum Rawiyah.."

"Wa'alaikumsalam...Shofiyah ada apa kamu tiba-tiba menelepon apakah ada sesuatu yang terjadi?" Aku sangat mengkhawatirkan keadaan Shofiyah.

"Tidak perlu lagi kamu basa-basi lagi Rawiyah, sekarang Aku hanya ingin bertanya." Tegasnya tanpa panjang lebar membuat jantungku semakin cepat berdetak. Aku takut apa yang selama ini Aku khawatirkan menjadi kenyataan.

"Maksudmu?" Aku mencoba untuk tidak faham apa yang sedang dia maksudkan.

"Apa dulu kamu mencintai suamiku Rawiyah?" Dengan tercekat-cekat Shofiyah bertanya seperti itu.

Kaget bukan kepalang, bibir ini tidak dapat berucap sepatah katapun. Aku memandang wajah Shofiyah lekat-lekat tampak dia begitu gusar. Ekspresinya sangat mengkhawatirkan, tubuhnya terlihat kurusan. Dia menggambarkan penderitaan yang dalam yang sudah lama dia pendam. Aku harus menjawab apa? Apakah aku kita harus saling menyakiti satu sama lain hanya karena seorang pria yang sebenarnya bukanlah hakku. Dia adalah suaminya, yang berhak mencintainya hanya istrinya saja.

"Aku tidak mencintai suamimu..." Aku berusaha agar Shofiyah tidak semakin mengintimidasi dengan pertanyaan-pertanyaannya.

Shofiyah tersenyum, dia kemudian memegang tangan ini.

"Kamu bohong! Lalu kenapa tanganmu begitu dingin? katakan saja..Aku lebih ridho mengetahuinya darimu bukan dari orang lain..Aku tahu kamu menderita selama ini...Aku tahu jika aku bukanlah sahabat yang peka terhadap perasaan sahabatnya sendiri..." katanya dengan senyuman yang dia coba buat-buat.

"Tetapi kalian sudah menikah mana mungkin aku mengatakan sesuatu hal yang tidak patut aku ceritakan padamu..dia hanya masa lalu bagiku, sedangkan kamu adalah masa depan baginya"

"Jujur saja Wiyah ada hal yang tidak kamu ketahui dan selama satu tahun ini Aku begitu sakit memendam perasaan dan pertanyaanku ini karena kamu tidak pernah pulang....ketika kami memutuskan menikah semua berlangsung secara mendadak dari kedua pihak keluarga kami. Aku dan Ahmad tidak tahu menahu jika kami saling dijodohkan..Aku tidak peka dengan ekspresi Ahmad saat itu, Aku kira dia mencintaiku."

"Lantas apa masalahnya Fiyah, bukankah dia memilihmu?"

"Bukan dia! Tapi keluarganya yang memilihku. Aku tahu ketika suamiku tertidur, dia mengigau dan menyebut namamu Wiyah...sekali lagi, dia menyebut namamu" air mata Shofiyah mengalir, dia tidak melanjutkan pembicaraan itu. Aku memegang dada yang terasa sangat sakit, terus berusaha untuk tidak menangis dihadapannya. Aku mengambil nafas dalam-dalam dan Aku ridhokan semua yang terjadi dengan ikhlas.

"Hapus air matamu Shofiyah, apa karena itu berarti kamu harus seperti ini. Kamu sudah ditakdirkan menjadi pendamping hidupnya. Jangan membiarkan hawa nafsumu lebih menguasaimu Shofiyah. Apapun yang terjadi, kamu adalah istrinya dan tidak akan ada yang bisa menggantikan posisi itu meskipun itu Aku."

"Tetapi Aku memikirkanmu Rawiyah, Aku tahu kamu pasti kecewa dan melihatku bukan seperti dulu lagi. Padahal Aku hanya tidak dapat menceritakan apapun kepadamu...Jika kamu ingin marah silahkan, marahlah Rawiyah!"

Aku memeluk Shofiyah ditengah emosinya, kemudian Aku berucap, "Aku ingin kalian bahagia, Aku ingin kalian saling mencintai karena Allah. Apakah bagimu Aku terlihat kecewa?"

Kemudian Shofiyah menangis tersedu-sedan, "Aku ingin kamu menikahi laki-laki yang begitu mencintaimu...jangan laki-laki yang mencintai oranglain. Karena jika kamu tahu betapa menderitanya seorang wanita yang mencintai seorang laki-laki yang tidak mencintainya."

"Apa kamu marah padaku Shofiyah? Suatu hari nanti Ahmad Khodir akan tahu siapa yang menjadi istrinya saat ini. Wanita shalihah yang hebat, wanita yang kuat dan wanita yang penuh dengan kelembutan. Suatu hari nanti dia akan berbalik mencintaimu..jangan berputus asa Shofiyah. Cinta itu hakikatnya milik Allah, kita hanya meminjamnya sebentar saja. Jangan sampai kamu ingin memilikinya jika kamu tidak ingin terluka." Ujarku membuat Shofiyah termenung, dia kemudian berucap,

"Rawiyah..terima kasih sahabat, berjanjilah kamu akan selalu menjadi sahabat terbaikku..."

"Insya Allah...." Janji padanya.

Sedangkan dibalik sebuah jendela terdengar suara Ahmad Khodir yang membaca Al-Qur'an. Suaranya parau dan penuh kesedihan, dia memejamkan mata kemudian mengalirlah air mata di kedua pipinya.

"Sungguh Aku menyesal, kenapa saat itu tidak Aku hentikan langkahmu dan datang ke rumah untuk mengkhitbahmu...Rawiyah..."

Angin begitu dingin terasa sangat membekukan jiwa, awan terlihat mendung dan gerimis mulai berjatuhan diatas bumi, kami renungkan hati kami masing-masing ditempat yang berbeda dan diantara perasaan yang berbeda. Hanya Allah yang tahu...

Di Atas Langit Cinta (Self-Published)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang