~Klise Kehidupan~

202 6 0
                                    


Perjalanan Sekolah hanya untuk bekal di akhirat, enam tahun berselancar dalam dunia pendidikan umum. Kemudian tiga tahun berselancar dalam dunia agama yang sangat kental di Madrasah Tsanawiyah Negeri. Sekarang berselancar dalam dunia umum yang bisa dikatakan dunia agamanya jauh lebih sedikit dibandingkan dahulu.

Tetapi Rawiyah yang dahulu tidak akan berubah dengan yang sekarang, Aku teringat sosok guru bernama Ibu Mamah yang memberikan pesan terakhir saat perpisahan kelas tiga.

"Jangan sampai setelah kalian keluar dari sekolah ini, kalian mengangkat kerudung kalian, kemudian kalian mengangkat rok kalian menjadi rok pendek! Itu pesan ibu, takutlah kita kepada Allah dan azab Allah itu sangatlah pedih..." Kilasan ucapan beliau itu selalu teringat sepanjang perjalanan pulang. Ekspresi dan raut wajah sendu dan kekhawatiran seorang guru tersirat di raut wajahnya yang sudah tua. Dia inspirasiku untuk mempertahankan jilbab ini.

Sekarang beliau sudah Almarhumah, semoga arwah beliau mendapatkan kebaikan disisi Allah. Guru adalah pelita kehidupan, tanpa mereka kita bukan apa-apa.

Tiga tahun memang sangat singkat, kini mulai fokus terhadap masa depan. Apakah akan melanjutkan kuliah ataukah bekerja? Mayoritas mengatakan bekerja sedangkan dari beberapa diantara kami ingin melanjutkan ke jenjang berikutnya, ada juga yang langsung menikah. Hehe

Ibu dan Bapak menyuruhku kembali ke rumah setelah selesai menyelesaikan pendidikan di SMA. Maklum, rumah Kakek berada di kota sehingga ongkos sekolah jauh lebih murah. Sekarang waktunya kembali berada di pelukan orangtua, sungguh tiada terduga kehidupan disini sangatlah kacau, disini peperangan mulut dan persingungan materi serta jabatan menjadi makanan sehari-hari.

Korban penghambaan materi, budaya yang baru Aku temukan dikehidupan yang beranjak dewasa.

"Pokoknya anak harus dikuliahkan ke jurusan hukum, supaya bisa menjadi angota DPR!" Cetus Bapak mengawali perbincangan.

Kemudian ibu menyanggah, "Sudah jadi guru saja seperti ibu. Jadi PNS zaman sekarang gajinya gede."

Aku berniat ke sebuah universitas kebidanan kota tanggerang di daerah Bala-Raja. Hanya sayang biayanya terlalu mahal, satu semester itu enam juta, belum biaya prakteknya. Pasti mereka tidak akan menyanggupi. Apalagi kondisi ekonomi kami sedang tidak seimbang. Aku undurkan dahulu dengan mengajar di sebuah Madrasah kecil. Madrasah yang menanti seorang guru yang bisa membimbing murid mereka.

"Mulai hari senin ya bisa mengajar disini?" Kata Ustadz Manaf yang dahulunya juga adalah guru mengaji saat SD.

"Insya Allah Ustadz, hanya saya sekarang mau berbenah. Membuka buku-buku yang dahulu, maklum Ustadz ilmunya sudah hilang sekitar tiga tahun yang lalu hehehe."Aku tersenyum penuh malu dan Ustadz memperbolehkan.

Hari mengajar telah tiba. Saat pertama kali memasuki kelas, Aku tersenyum mengingat masa kecil yang selalu grogi jika tampil dihadapan banyak orang. Sekarang sudah berbeda, sekarang Rawiyah adalah guru Sekolah Agama Madrasah Ibtidaiyyah.

"Ibu, mengajar pelajaran apa??" Tanya murid-murid yang mengkerubuniku.

"Ibu cantik..." Aku tertegun seorang murid laki-laki tersenyum melirik, apa benar ya aku cantik? Ya Allah jauhkanlah aku dari sifat sombong hanya karena pujian seorang anak kecil.

"Insya Allah, ibu akan mengajar Fiqih dan Akidah Akhlaq." Ucap kepada mereka dengan sikap keibu-ibuan. Ya sekarang jelas berbeda, Aku harus bisa memposisikan diri sebagai ibu guru bagi mereka.

"Asyik ! Bu Rawiyah akan mengajar Fiqih!" Sahut seorang murid yang bernama Reza, anak yang super aktif dan tidak bisa diam.

"Bu kenapa tidak mengajar Bahasa Arab saja??" Pinta murid-murid yang lain, Aku menghela nafas belum mengajar saja sudah seperti ini, tetapi tidak apa-apalah namanya juga seorang guru.

"Harus ikhlas Rawiyah ! Harus Ikhlas!", semangat yang membara dalam hati. Andaikan murid-murid tahu apa yang membara dalam hati gurunya ini tentu mereka akan kegosongan, hehehe

"Soalnya Ibu dipinta oleh Ustadz mengajar Fiqih dan Aqidah Akhlaq, jadi maaf ya, tapi kalian boleh kok sharing masalah apapun dengan Ibu, ngobrol atau apalah yang penting kalian tidak merasa dipilih kasih oleh Ibu ya?" Pinta kepada mereka, sempat tersenyum sih karena Aku memanggil diri sendiri dengan sebutan Ibu.

"Iya Bu.." Jawab mereka dengan kompak.

Tiba-tiba bel masuk pelajaran pertama berbunyi, semua murid berdo'a terlebih dahulu. Tetapi diantara mereka masih banyak yang sibuk mengobrol, bercanda sampai murid yang satu ini berjalan-jalan di kelas.

"Reza !" Aku panggil nama murid itu, Reza kemudian duduk karena melihat tatapan yang tajam.

"Ya Allah kok bisa ya seperti ini? Mereka seperti murid yang tidak bisa diatur. Ini adalah sebuah tantangan, semangat Rawiyah!" Pikirku dalam hati

Setelah berdo'a mereka kembali ribut, apa yang harus Aku lakukan? Pertama-tama harus membuat mereka memperhatikan.

"Assalaamualaikum, anak-anak??" Sahutku dengan nada lantang.

Mereka serentak menjawab dengan berteriak, "Wa'alaikumsalaam Ustadzah!!"

Ustadzah? Aku mengerti itulah panggilan mereka dikala formal pembelajaran, "Sekarang Ibu akan memperkenalkan diri Ibu.." Aku berdiri supaya lebih menguasi panggung. Hehe

"Nama Ibu adalah Rawiyah Intishar...Insya Allah setiap hari senin sampai jum'at kalian akan bertemu dengan ibu.." Sambil tersenyum kepada mereka, "Apakah ada yang ingin ditanyakan?" Tanya kepada semua murid kelas dua.

"Ibu sudah menikah belum?" Tanya satu murid, membuat gelagak tawa riuh mewarnai kelas.

Menikah? Apakah wajahku sudah setua itu? Sudahkah percis seperti Ibu-ibu?

"Ibu belum menikah J" Aku senyum-senyum sendiri.

Murid-murid riuh, "Ibu memang umurnya berapa??" tanya murid wanita yang cantik berkerudung putih.

"Umur Ibu 18 Tahun..." Jawabku.

Mereka semua saling melihat satu sama lain, heran karena guru mereka masih muda. Pelajaran dimulai, ini baru hari pertama, "Ya Allah semoga mereka bisa menerima..." Do'a dalam hati.


Di Atas Langit Cinta (Self-Published)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang