Pengalaman Saat Ujian

165 8 2
                                    

Jujur itu lebih baik walaupun pahit.


Mungkin ungkapan itu lebih cocok untuk IMmi (Isna Mala).

Walaupun ini adalah sekolah yang elit, namun tidak untuk para siswa-siswinya. Bahkan perilaku para siswanya jauh dari kata elite. Terutama di saat ulangan atau ujian, mereka selalu membuka buku. Tetapi tidak semua seperti itu. Dari seluruh siswa, mungkin perbandingannya 70:30.

Kelas X-3.

Hampir semua siswa kelas X-3 membuka buku saat ulangan atau ujian. Hanya sedikit orang yang benar-benar jujur. Dan itu pun hanya bisa dihitung dengan jari. Dan di antara orang-orang jujur itu adalah Isna dan Mala.

Tetapi.. akibat lingkungan yang negatif, iman dan pendirian Mala untuk tidak akan pernah membuka buku saat ulangan atau ujian pun mulai goyah.

Sekali-sekali tidak apa-apa kan waktu ujian membuka buku, kata-kata itulah yang sering muncul di benak Mala saat ia melihat nilai teman-temannya yang membuka buku lebih baik dari ia yang jujur.

Waktu ujian kenaikan kelas.

Sebelum masuk ke ruang ujian, Mala pun mengutarakan niatnya kepada Isna untuk membuka buku saat ujian nanti. Dan kebetulan saat itu adalah ujian TIK (Tekhnologi Informasi dan Komunikasi). Walaupun mereka sudah belajar, tetapi mereka tetap saja tidak bisa mengerti pelajaran itu.

"Gimana, Is?" tanya Mala. "Ya... sekali-sekali kita buka buku." Mala mempengaruhi Isna. "Masa kita yang jujur nilainya lebih jelek dari yang buka buku. Itu kan tidak adil."

"Tapi aku takut, takut ketahuan," jawab Isna khawatir.

"Ya... aku juga takut. Tapi, mereka aja bisa, masa kita tidak. Lagi pula tempat duduk kita di belakang."

Isna nampak berpikir. Mencerna setiap ucapan Mala.

"Oke deh kalau gitu," Isna menyetujui ucapan Mala setelah berpikir sekian lama.

Lonceng tanda ujian dimulaipun berbunyi. Semua siswa memasuki ruang ujian. Semua tas para siswa diletakkan di tempat paling belakang kelas. Kebetulan saat itu Isna dan Mala duduknya berada diurutan belakang.

Seperti ritual-ritual saat ujian yang sudah-sudah. Para siswa meletakkan buku paket di bawah laci masing-masing. Termasuk juga Isna dan Mala yang sudah mulai ketularan tidak jujur.

"Gimana nih?" tanya Mala, ragu. Padahal dia yang mengusulkan untuk buka buku.

"Ya udahlah. Kita buka buku aja." Isna menjawab ucapan Mala sambil meletakkan buku paket TIK di dalam laci mejanya. Mala pun mengikuti apa yang dilakukan Isna. Setelah itu, mereka meletakkan tas di belakang kelas.

Guru pun memberikan soal dan lembar jawaban kepada semua peserta ujian.

Sepuluh menit pertama, suasana ruang ujian begitu tenang. Seperti tidak ada penghuninya. Sepuluh menit kedua, para siswa sudah mulai melancarkan aksinya untuk membuka buku. Sepuluh menit ketiga, ruang ujian sudah mulai ramai. Seperti di pasar tradisional.

Sudah tiga puluh menit berlalu, tetapi Isna dan Mala masih ragu untuk membuka buku.

Entah sial atau teguran dari Tuhan. Guru pengawas ujian berjalan menghampiri meja para siswa dan melihat ke dalam laci. Mala yang baru saja memegang dan ingin membuka buku paket TIK langsung gemetar. Ia merasa takut.

"Gimana nih, Is?" tanya Mala dengan suara yang gemetar.

Isna pun tampak takut.

Guru itu terus menyusuri setiap meja para siswa dan memeriksa setiap laci. Tanpa pikir panjang, Mala yang duduk di tempat paling belakang langsung mengambil buku paket TIK yang ada di lacinya dan melemparkannya ke belakang-tempat meletakkan tas--secara asal tanpa menoleh ke belakang. Isna pun mengikuti langkah Mala yang melemparkan buku ke belakang.

Tidak lama setelah mereka berdua melempar buku, guru pengawas pun memeriksa laci mereka. Mereka berdua bisa bernapas lega, tetapi mereka juga tidak akan bisa menjawab soal dengan baik dan benar.

Tidak lama setelah memeriksa laci Isna dan Mala, guru pengawas itu berjalan menuju ke arah Mahmud Wahdi yang dengan santainya membuka buku paket TIK yang diletakkan di atas pahanya. Dan dengan santainya ia menulis jawaban di kertas lembar jawaban miliknya.

Tanpa ampun lagi, guru pengawas pun langsung menyita buku paket itu. Dan syukurnya guru pengawas itu tidak mengusir Mahmud Wahdi keluar dari ruang ujian. Isna dan Mala yang melihat itu hanya bisa mengelus dada, tanda bersyukur bukan mereka yang dipergoki.

Sejak kejadian itu, Isna dan Mala pun menjadi jera dan tidak berani membuka buku saat ujian. Walaupun mereka tidak pernah membuka buku saat ujian, tetapi mereka selalu bertukar jawaban saat ujian. Ide yang cukup cemerlang dan aman. Ya, walaupun para siswa yang lain masih tetap melakukan ritualnya saat ujian--ritual membuka buku.


Pesan :
Jangan pernah terpengaruh dengan orang lain. Tetaplah menjadi dirimu sendiri dengan memegang teguh pendirian yang kau miliki.

***

Momen-Momen IMmiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang