Tubuhku terasa remuk sekarang, aku menyesal telah menabrakan diriku ke bus kota yang lewat itu. Tapi untuk apa aku menyesal? Toh, bukan aku yang menginginkan tubuhku tertabrak bus sialan itu.
"Milly, buka matamu, maafkan aku."
Louis?
Aku membuka mataku perlahan dengan susah payah, astaga mengapa mataku sangat berat? "Hey, Louie." Sapaku dengan suara yang serak, akhirnya suaraku sudah kembali setelah sebelumnya aku tak bisa berbicara.
"Akhirnya kau tersadar, aku kira kau akan mati."
Apa?
Sedetik kemudian ia tertawa berkat candaannya yang sama sekali tidak lucu, brengsek. Aku memukul tangannya yang masih bisa ku gapai dan ia hanya meringis kecil. "Aku hanya bercanda, sayang. Aku yakin kau kuat hanya dengan menghantam sebuah bus kota, kau kan cintaku." Ia masih terkekeh, lucu sekali.
"Kau tidak romantis, seharusnya kau menanyakan bagaimana keadaanku sekarang, aku baik-baik saja atau tidak, ck kau menyebalkan."
Louis memainkan rambutku dan menatapku dengan manis dan senyum menahan tawa. "Uu kekasihku ingin dimanja, ya? Nah, kau kebanyakan menonton film dan membaca novel. Aku sudah tahu, kau baik-baik saja dan keadaanmu baik, benar 'kan?" Sok tahu sekali, ia tidak tahu betapa linunya tulang-tulangku sekarang.
"Oh. Kekasih impianku seperti yang ada di film dan novel, bukan sepertimu, menjauh lah dariku."
Louis memasang tampang sedih yang dibuat-buat yang membuatku ingin tertawa. Ia selalu bisa menghiburku, walaupun tidak seromantis pria lain, tapi ia memiliki cara tersendiri untukku mengaguminya. "Hentikan Loui, aku tidak bisa tertawa untuk itu!" Seruku sembari berusaha meraih wajah Louis.
"Oh ya? Kau yakin?"
Louis memberiku wajah yang ia jelek-jelekan, oh aku tidak bisa menahan tawa lagi. Aku memejamkan mataku berusaha tidak melihat wajahnya, tapi ia terus berusaha berbagai cara agar aku tertawa untuknya.
"Aku menyerah!"
Saat aku baru saja ingin tertawa, kepalaku berdenyut keras dan tulang rusukku terasa sangat sakit, seperti akan patah. "Hey, kau kenapa? Jangan mengerjaiku hanya untuk mendapat perhatian, Mills." Telingaku berdengung kencang, aku tidak dapat mendengar suara Louis lagi, aku hanya dapat melihat wajahnya yang panik dan sedang menggoyangkan tubuhku.
Pandanganku terpaku kepada sebuah jendela yang ada tepat di depan ranjangku, orang itu berdiri di sana dan sedang menyaksikanku kesakitan. Tatapannya sangat tajam kepadaku, ada kilatan merah yang mendominasi matanya. Apa ia yang akan menjemput ajalku? Tapi, mengapa bukan dari tadi? Jadi aku tidak perlu merasa kesakitan ini.
Jendela itu terbuka dan ia melakukan hal yang sama padaku di kejadian sebelumnya, tubuhku terasa tertarik ke arahnya. Semakin aku berusaha menjauh, tarikannya semakin kuat yang membuatku kehilangan keseimbangan.
Tanganku berusaha meraih tumpuan ranjang untuk menahan, tetapi tidak bisa. Oh Tuhan, maafkan semua dosaku di dunia, kali ini aku menyerah, lakukan saja semuanya atas kehendakmu.
Sekarang tubuhku berhadapan langsung dengan orang itu. Wajahnya sangat pucat dengan kantung mata yang hitam, seperti vampire yang ada di film Twilight saja. Dan jika dilihat-lihat ia tampan, sangat tampan dan sempurna. Oh, malaikat pencabut nyawa saja sangat tampan, bagaimana jika penjaga pintu surga?
"Kau malaikat pencabut nyawa 'kan? Ish, kau tidak perlu menarikku dengan cara seperti itu, kau hanya tinggal menyebutkan namaku yang ada di daftar kematianmu, aku juga akan datang."
Ia hanya bergeming dan menatapku dingin, apa jika aku memukul wajahnya aku akan dikembalikan ke bumi? Bisa saja. Baru saja aku akan menamparnya, tubuhku terhempas jauh hingga kepalaku membentur dinding. Oh ternyata aku salah.
Saat aku akan bangkit, tubuhnya sudah berada di hadapanku sekarang. Aku terhenyak saat tangannya mencekik leherku dan menarikku untuk berdiri, sialan aku tidak bisa bernafas sekarang.
"Rupanya kau banyak bicara, aku tidak suka manusia yang banyak bicara sepertimu, terutama dirimu. Aku–brengsek!"
Aku memukul wajahnya dengan tanganku yang masih terbebas, hampir saja aku kehabisan nafasku. Dengan tenagaku yang masih tersisa, aku berusaha berlari kemana pun arahnya. Beruntung aku memenangkan lomba lari saat sekolah dasar, setidaknya ini berguna.
Tubuhku tersungkur saat tak sengaja kakiku menyandung sesuatu. Suara tawa menggema di tempat ini, suara siapa lagi kalau bukan orang itu? Sekarang orang itu berdiri tepat di hadapanku dengan seringai licik.
"Mau kau lari kemana pun, aku tetap bisa meraihmu. Ini duniaku, di duniamu saja aku bisa menarik rohmu, mengapa disini tidak? Kau bodoh juga rupanya."
Sial. Aku hanya bergeming di tempatku tanpa melihat wajahnya, sebenarnya apa yang ia inginkan dariku? Orang itu menendang wajahku hingga aku terkapar kembali ke lantai.
"Jika kau ingin tahu apa yang aku inginkan, kau akan mengetahuinya selagi kita bermain seperti ini. Dan jika kau ingin tahu siapa aku, aku iblis, bukan malaikat pencabut nyawa-mu."
Aku membuka mataku dengan deru nafas yang tidak beraturan. Tubuhku masih terbaring di ranjang, tadi hanya mimpi Mills tenang saja. Suara mesin denyut nadi menggema di ruangan ini, dimana Louis? Mengapa ia membiarkan ku sendiri di ruangan ini?
Tanganku berusaha menekan tombol darurat yang ada di ranjang belakangku. Tak lama setelah aku menekan tombol itu, beberapa suster dan dokter masuk ke ruanganku. Aku sempat mendengar keributan di pintu, itu suara Louis.
"Apa yang telah terjadi padaku?" Tanyaku kepada dokter yang sedang memeriksa tubuhku dengan stetoskopnya.
"Kau baru saja bangun dari masa kritismu, kau koma selama dua hari."
Apa?
Aku hanya terdiam setelah mendengar ucapan dokter itu, bagaimana bisa aku koma selama dua hari? "Kondisimu sudah membaik, jangan terlalu lelah, atau kau akan mengalami ini lagi, oke?" Tutur dokter itu dan aku hanya bisa mengangguk.
Setelah para perawat itu pergi, Louis masuk dengan tatapan khawatirnya. Saat Louis membuka mulutnya akan mengucapkan sesuatu, aku memotongnya.
"Cintamu ini sangat kuat, jadi aku tidak akan mati! Benar 'kan? Tidak perlu memasang wajah sedih mu itu, aku baik-baik saja." Seruku yang membuat mulut Louis terbuka dan menggelengkan kepalanya.
"Apa yang sedang kau bicarakan?! Kau koma selama dua hari, Mills. Harry hampir saja membunuhku saat tahu kau ada di rumah sakit. Kau tidak baik-baik saja, ini semua salahku waktu itu."
Benarkah Harry menjengukku kemari? Tapi mengapa sekarang ia tidak ada di sampingku?
"Hey, Louie. Ouch, cintaku merasa sedih, sungguh aku tak apa, bahkan aku jauh lebih baik dari sebelumnya, kakiku sudah bisa digerakan. Oh ya ceritakan bagaimana bisa Harry mengetahui keadaanku dan menghampirimu! Aku sangat merindukannya, dimana ia sekarang?"
Louis hanya menatapku sendu sambil mengusap kepalaku halus. "Kau ini banyak sekali berbicara, istirahat lah dulu." Ibu jarinya mengusap kelopak mataku yang terpejam, ini membuatku seribu kali lebih tenang dan melupakan sejenak masalah orang itu, ralat, iblis itu.
-
[Mills on mulmed]
Met puasa ya tayank2ku bgi yg menjalankannya <33
Makasih vomments nya di chapt sebelumnya, gue senyum2 sendiri bacanya :)
20+ comments for next chapter please? Thankyou ;)
not edited