Terima kasih

858 58 9
                                    

Kegaduhan kelas tidak bisa menghancurkan lamunanku akan dirimu. Ya, menatap sepasang matamu itu begitu membuatku damai, memandang kejernihannya seakan membuatku bisa mengetahui betapa jernihnya hatimu. Tentu saja, makin membuatku tahu, aku sudah jatuh terlalu dalam padamu, pada pesonamu, pada hatimu.

Sayangnya, tangan mungilmu itu tak juga meraihku yang jatuh semakin dalam ini. Tangan mungilmu itu malah kau ulurkan pada orang lain, menyerahkan segala yang kusuka darimu, hanya untuknya seorang.

Cemburukah aku?

Di satu sisi, aku menjawabnya dengan kata "Ya."

Kita sudah berteman sejak lama. Bahkan sebelum kau mengenal laki-laki yang tengah kau cintai ini.

Dari awal, aku sudah senang mengenalmu. Senang karena apa, aku juga susah untuk mengungkapkannya. Mungkin ada satu kata yang mendekati maknanya. Kau unik. Keunikan dari dirimu itulah, yang membuatku merasa seperti ada sesuatu yang bergemericik dalam perasaanku tiap aku lihat wajahmu, entah itu sekejap dalam sebuah siluet ataukah menatapmu dengan dalam.

Kau, dari awalku mengenalmu, namamu selalu tersebutkan dalam setiap ceritaku. Entah kenapa aku jadi senang menyebutmu, menandakan bahwa aku selalu ingin ada dirimu dalam setiap kata yang kuucapkan.

Itu berarti aku selalu membutuhkanmu. Secara langsung aku tidak menyadari itu.

Lama, tahun mulai menghitung dirinya seiring aku mengenalmu.
Rasa itu tak pernah hilang , meski pernah hampir kulupakan, tapi dengan bandelnya perasaan itu kembali. Seolah tak ingin dilepaskan.

Yah, aku susah sekali untuk melepaskan pandanganku darimu.
Tidak bisa untuk tidak memikirkanmu di setiap waktu yang kulewati, dalam detik yang menjentik di penunjuk waktuku.
Mungkin rasa ini terlalu besar jika dikatakan hanya sekedar 'suka'. Tapi lebih menjurus ke 'cinta'. Awalnya aku mengelak bahwa dia adalah cinta pertamaku, namun fakta pun mengatakan keberadaannya pada kasusku, bahwa sebenarnya itu adalah cinta, karena sudah kurasakan sejak lama, mengaguminya walau hanya dalam hati.

Aku ingin mengatakannya padamu. Tentunya aku sebagai laki-laki, harus melakukannya duluan, kan?

Tapi begitu selesai kumantapkan langkahku, aku malah mundur. Aku baru menyadari ada satu kemungkinan. Ditolak.

Aku batal mengatakannya padamu, dan terus memandang, mengagumi, menyukai, mencintai walau hanya dalam kalbu. Tanpa pengungkapan melalui kata-kata. Hanya tingkah lakuku yang berbicara, kalau aku peduli dan ingin selalu berada di dekatmu.

Belakangan, setelah aku menyadari apa yang terjadi dengan hatiku, aku malah mendapatkan sebuah kabar yang mengejutkan.
Mengejutkan, tidak hanya bagiku yang menyukai Shania, tapi seantero sekolah heboh karenanya.

Shania, menerima pernyataan cinta salah satu senior kami, pelatih bulu tangkis, ekskul yang diikuti Shania.

Heboh, karena orang itu dipandang para siswi sebagai senior yang keren, multitalenta, dan salah satu prince charming di SMP kami.

Ya, keren, aku juga mengakuinya, tapi dari sisi lain. Keren, karena dia berani mengungkapkan cinta pada Shania, berbeda denganku, yang hanya bisa meneriakkan cinta dari dalam hati. Betapa bodohnya.

Dan ia beruntung, karena Shania juga menyukainya, aku tahu itu, meski dia tidak pernah secara langsung mengaku. Karena Shania sering bercerita padaku, bahwa ia mengagumi pelatihnya, anak keluarga yang memang terkenal itu.

Terpaksa aku harus menelan kepahitan itu. Kepahitan dimana aku kalah telak, sebagai seorang laki-laki, kalah telak karena aku hanya seorang pengecut yang bahkan menyatakan cinta pun tidak berani.
Tapi, anehnya, hubungan mereka berdua bahkan tidak sampai menghitung minggu. Aku heran, bukankah mereka cocok? Shania juga menyukainya, dan aku tahu Shania adalah wanita baik-baik.

OneShotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang