Hingga Ujung Waktu

910 68 3
                                    

Shania duduk dikursi ini. Matanya terpejam, tapi bukan tidur. Otaknya masih mengelak kenyataan yang merasuk di kehidupannya saat ini. Berkata dalam hati, menepis semua hasil penglihatannya tadi pagi hingga tadi siang yang begitu menyakitkan dan ingin membuatnya berlari dari kenyataan yang ada.

Kepalanya kembali tergeleng. Kemudian kedua mata Shania yang masih sendu terbuka, menatap sosok yang terbaring di hadapannya.

"Boby, jawab!" teriaknya sendirian.

Boby tak bisa menjawab. Matanya juga tertutup. Yang bisa menjawab cuma gema suaranya sendiri yang terpantul di dinding ruangan yang sepi ini. Hanya ada dirinya dan Boby.

Air matanya tak bisa berhenti menangis walaupun hatinya berkeinginan untuk tetap tegar dan menerima kenyataan cintanya.

Ditatapnya jari manis kanannya, dimana ada sebuah benda berwarna keperakan, emas putih yang terpasang manis di jari mungilnya tersebut.

Air matanya tak bisa berhenti meleleh karenanya. Berusaha menghilangkan lagi siluet yang menggores perasaannya dengan dalam dan menyakitkan.

Cincin itu indah sekali. Berhiaskan satu permata indah, berlian kecil. Cantik sekali, terlukiskan rasa cinta yang besar dari yang menyematkannya, penuh dengan kasih sayang yang besar.

"Boby…." Katanya pelan, meredakan sisa amarahnya yang terus bercampur dengan kesedihan dan kekecewaan. Diingatnya lagi kejadian tadi pagi hingga tadi siang. Mencoba membuktikan sendiri kalau yang dilihatnya tadi bukan pernyataan kenyataan yang sebenarnya.

Flashback :

Shania berjalan sendiri di taman itu. Dengan senyum terukir tentunya. Terus memandang cincin di jari manisnya itu. Kilat berliannya yang terpantulkan karena cahaya matahari membuat hatinya tambah merona cerah atas kejadian tepat seminggu yang lalu, yang membuat dirinya tahu, kalau cintanya tak bertepuk sebelah tangan lagi.

Di pagi yang segar dengan hiasan embun yang turut mewarnai semburat oranye pertanda pagi telah dimulai, Shania menikmati sendiri pemandangan ini. Cuma untuk sekedar melepas lelahnya dari pekerjaan kantor yang menyibukkannya dalam minggu-minggu ini.

Tapi, matanya menangkap sosok favoritnya, sedang berjalan sendiri juga.

Shania tertegun, serasanya ia tak ada membuat janji dengan Boby hari ini. Apa mungkin Boby sengaja mendatanginya disini ?
Keinginannya untuk memanggil Boby batal, ketika ia menyadari kalau langkah Boby tidak terarah kepadanya. Boby hanya terus berjalan di tepi jalan raya, tanpa mengetahui keberadaan Shania yang melihat padanya.

"Boby…?" ucapnya pelan. Tapi matanya terus tertuju pada sosok berkacamata itu, dan tanpa sadar kakinya telah melangkah diam-diam di belakang Boby.

Terus, terus berjalan, hingga sampai ke suatu tempat yang aneh. Lorong sepi, gelap. Mata Shania memicing, bingung memikirkan apa yang dilakukan Boby disini.

"Oh, sudah datang ya? Cepat juga?"

"Aku tidak biasa terlambat dalam janji. Apalagi untukmu." Suara lembut Boby terdengar sampai ke telinga Shania.

Deg. Jantung Shania berdetak cepat. Darahnya mendesir, mengalir cepat juga. Matanya membulat penuh. Kata-kata itu, dirasanya bermakna lebih dari sekedar teman biasa.

"Aku tahu, Bob, kamu. . ." kata-kata itu terputus. Shania tidak dapat melihat wajah wanita itu, karena lorong yang gelap dan jaraknya yang lumayan, berjaga-jaga agar jangan sampai ketahuan.

"Sudahlah. Jangan singgung dia dalam pembicaraan kita."

"Oh, baiklah."

"Nah, sekarang kamu mau kemana? Biar kuantar."

OneShotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang