Complicated Love Story

1K 68 21
                                        

Shania duduk di atas tempat tidurnya. Kedua kakinya berselonjor di atas sprei berwarna biru muda itu. Dagunya bertopang pada tangan kanannya, yang juga berada di atas bingkai jendela kecil yang menghiasi kamarnya, bersama dengan sebilah pulpen. Sedangkan di tangan kirinya ada selembar kertas yang masih bersih.

Kaca memperlihatkan keadaan luar yang masih gelap. Sesuai dengan jarum jam yang menunjukkan antara angka 5 dan 6. Embun terlihat membening diluar sana, diatas dedaunan di pot-pot kecil yang berjejer rapi disusunnya di bagian bawah jendela kamarnya.

Shania memandang lurus. Matanya menelisik diantara rimbunan dedaunan di pohon maple yang ada disamping kamar kesayangannya.

Sesekali ia terbatuk-batuk. Penyakit ini sudah agak lama dideritanya, tapi Shania sendiri cuma cuek menghadapinya. Mungkin bukan sesuatu yang besar, pikirnya.

Dipan kayu itu sedikit berbunyi. Menunjukkan kelapukan usianya. Shania tidak kepikiran untuk menggantinya. Tinggal sendiri membuatnya tidak sampai memikirkan sejauh itu.

Pulpen itu kini berputar, sama seperti bola matanya yang kesana kemari, seolah ingin segera menemukan apa isi yang tepat untuk mewarnai kertas putih itu dengan susunan huruf-huruf yang merangkai indah sesuai dengan keahlian yang dia miliki.

Dan, otaknya telah menemukan apa yang dicari. Dalam hitungan menit, kertas kecil itu telah penuh terisi dengan kata-kata yang dirangkai secara rapi oleh Shania.

Dibacanya sekali lagi puisi itu. Lumayan mengesankan isi hatinya.

Aku berada disini.

Melayang diantara tumpukan patahan hatiku sendiri.

Yang bercampur antara sedih, luka, dan kecewa.

Ingin kulupakan dirimu,
hilang secepat angin yang lewat meniup dedaunan di atasku,

lenyap mengalir keluar dari pikirku seperti air terjun.

Atau pergi dalam kejapan mata seperti sang kilat.

Tapi, sekeras apapun itu,

Bayangan tentangmu selalu silih berganti merasuki otakku.

Kapankah bisa kau tidak lagi menghantuiku seperti itu ?

Shania menghela nafas lagi. Sebal. Mengapa ia mesti sampai segitunya ? Sudahlah, ia tidak lagi ingin menyibukkan diri dengan urusan yang dianggapnya tak penting itu. Membuatnya semakin sakit saja. Segera ia bersiap-siap. Menuju ke sekolah lagi, dan ia tahu, itu mungkin membuatnya sedih.

Semua perlengkapan sekolahnya sudah siap. Kini Shania telah berdiri di depan rumahnya, melangkahkan kakinya menuju sekolah. Dan berharap di perjalanan kali ini ia tidak lagi bertemu dengan orang itu. Semoga.

"Shania ! Tunggu !" sebuah suara mengejarnya dari belakang. Shania lega, itu bukanlah suara yang ia benci.

"Oh, Ve, apa kabar ?" jawab Shania.

"Baik. Baik sekali."

"Bagaimana liburanmu ?"

Ve tersenyum senang. Memang semenjak liburan, ia tak bertemu dengan Shania, dan saat ini baru saja ingin menceritakan sebuah hal yang sangat membahagiakannya.

"Tahu tidak, apa yang terjadi selama liburan kemarin ?"

"Ada apa ? Kok kelihatannya kamu senang banget ?"

"Dia, Shan, dia ternyata benar-benar seperti yang kamu katakan, kami sudah resmi jadi..." kata-kata itu terputus karena sebauh jari telunjuk diletakkan di bibirnya secara mengejutkan dari belakang.

OneShotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang