Apa ya judulnya ?

827 73 8
                                    

Kira kira apa ya judul yang pas buat cerita ini ?

***


Gadis itu meringkuk, menunduk di bangku yang bisu. Kepalanya tertunduk, matanya berpapasan dengan angin-angin dan debu yang lalu. Menghadirkan suasana sepi, sedih, muram.

Hatinya senyap.

Senyap oleh sesal yang tak terperi. Memberinya sebuah luka yang entah kapan akan sembuh -mungkin selamanya begitu. Sedikit ia rapatkan syal hijau tua yang melingkar di leher jenjangnya. Sekedar menutupi dirinya yang tengah terpuruk dan kedinginan.

Salahkanlah angin musim malam yang terlalu kejam. Jangan salahkan masa lalu, karena masa lalu adalah sebuah kemutlakan yang tak dapat diubah.

Ya, masa lalu. Menyesal, perih, sakit, terluka.

Ia putar lagi memorinya. Memori sedih yang sebenarnya tak perlu diungkit, karena sama saja dengan menumpahkan puluhan tetes air jeruk nipis ke atas sebuah luka yang terkoyak.

Akhir bulan kemarin, merupakan setting utama dari drama yang mesti ia lakonkan. Lakonkan sebagai seorang tokoh menderita yang tak punya harapan bahkan untuk sedetik berikutnya.

Ia menyatakan perasaan pada cinta pertamanya, Kinan. Yang kemudian ditolak secara halus oleh pemuda itu, karena ia telah menambatkan hatinya untuk wanita lain, yang jelas itu bukan dirinya.

"Maafkan aku, Shan. Aku tak bisa melepas Veranda. Sekali lagi, maaf..."

Kata-kata Kinan terakhir, sebelum pemuda itu memalingkan tubuhnya, berjalan menjauh tanpa sepatah kata perpisahan pun.
Dan hari-hari berikutnya Kinan tak pernah muncul lagi, ia telah pergi ke London, menempuh pendidikan lanjutannya, sebagai dokter. Bersama Veranda.

Ia patah.

Shania putus asa, hingga seorang lagi, teman masa kecilnya, datang padanya. Di taman itu, tepat lima menit setelah penolakan Kinan.

Dan dari situlah, dimulai segala pangkal penyesalan yang menghujamnya.

FLASHBACK

"Shan?" Boby berkata datar. Meski tak dapat menyembunyikan keterkejutannya akan keberadaan Shania di sana. Di tempat dan waktu yang tak seharusnya ia berada. Di taman dingin, malam hari.

"Boby?" Shania menjawab. Sekedar basa-basi. Sebenarnya ia tak ingin menjawab banyak. Ia sedang down.

Boby tak menjawabnya. Hanya diam, tapi bergerak mengambil posisi di samping Shania yang sedang berupaya keras menyapu air mata yang tak henti turun.

Boby lalu melepas syal hijau tua yang dikenakannya. Melingkarkannya pada leher Shania yang pasrah dirasuki angin yang kencang. Shania berpaling,

"T-terima kasih, Bob..." katanya berusaha mengembangkan senyum.

"Jangan tunjukkan senyum palsumu itu di hadapanku. Aku tahu kamu terpaksa," Boby menyambut dingin.

Shania terdiam. Ah, ia tak tahu reaksi apa yang mesti ia tampakkan.

"Ma-Maaf..." ujarnya, menunduk. Menekuri tanah walau pikirannya tak terpusat ke sana.

"Kinan barusan menolakmu," Boby tak berekspresi. Namun tepat sasaran.

Shania mengangguk. "Tapi mau bagaimana lagi, dia sangat sayang Veranda. Aku tidak mungkin memaksanya."

"Baguslah."

"Apanya?"

"Setidaknya kamu paham dimana posisimu."

"Ya," jawab Shania, tersenyum simpul nan ambigu.

OneShotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang