Everlasting Love

1.2K 69 6
                                        

Just fiction

Happy reading

***

Angin semilir meniupkan kain pembatas jendela yang tersingkap rapi, dengan dunia luar dari ruangan itu. Tiga puluh dua anak berumur 16-17 tahunan duduk dalam jejeran rapi bangku masing-masing. Seorang wanita dengan rambut yang diarahkan ke depan sedang berdiri di dekat papan tulis, menjelaskan sebuah materi berupa uraian sel-sel makhluk hidup.

Beberapa dari ketiga puluh dua orang itu ada yang serius memperhatikan, ada yang melihat ke arah guru itu saja tapi dengan pikiran yang jauh melayang entah kemana, ada juga yang terkantuk-kantuk, mengingat ini adalah waktu yang paling tepat untuk melelapkan diri di tumpukan bantal dan tempat tidur yang enak.

Tapi ada satu orang siswa yang sedang memandang keluar kelas, melemparkan pandangannya jauh ke alam luar, ketahuan sekali kalau dia adalah orang yang paling tidak berminat pada pelajaran, atau tepatnya suasana sekolah kali ini.

Warna hitam yang mengisi matanya tampak kosong. Menggambarkan kalau yang sedang bekerja dalam tubuhnya hanyalah otaknya, dan yang ia pikirkan itu bukan sesuatu yang dilihatnya, melainkan yang tak tampak. Tak tampak, karena hanya ada dalam pikirannya, tidak keluar dalam bentuk kenyataan.

Sebenarnya ia lumayan suka pelajaran ini, namun ada satu hal yang membuatnya tidak bisa menikmatinya dengan senang.

Ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.

Ganjalan itu berbentuk sosok gadis manis yang selalu berwajah ceria. Dimana hari ini gadis itu tak menampakkan batang hidungnya.

Itulah yang membuatnya khawatir, biasanya bila tidak masuk gadis itu pasti mengabarinya, mengingat dirinyalah yang paling dekat dengan gadis itu. Teman sepermainan sejak kecil, status itulah yang membuat mereka sangat dekat. Beberapa orang bahkan mengira mereka memiliki sebuah ikatan khusus.

Guru di depan sana, tahu bahwa anak laki-laki itu menahan posenya seperti itu, menjelaskan secara abstrak bahwa anak itu tidak mendengarkan penjelasannya dan tidak menghormatinya sebagai guru. Tapi ia hanya membiarkannya, karena dua hal. Pertama, karena lima menit lagi penjelasannya sudah harus ditutup dengan bunyi bel tiga kali penanda pulang. Dan satu lagi, dia adalah orang yang begitu mengenal murid yang disana, jadi ia dapat menebak isi otak murid itu. Maka ia hanya meneruskan sisa penjelasannya.

"Baiklah, anak-anak, ibu kira penjelasannya hanya sampai disini. Jangan lupa kerjakan tugas di halaman 32. Selamat siang semuanya, hati-hati saat pulang ya..." Guru itu mengakhiri pelajaran, sambil membereskan buku-bukunya di meja.

"Siang, Bu Melody!" murid-murid tanpa dikomando langsung menghambur keluar kelas, berdesakan memenuhi pintu. Sementara anak yang melamun tadi baru saja bangkit dari tempat duduknya dan meraih tas selempangnya yang tergeletak di atas meja.

Melody sengaja berdiam diri dulu, menanti anak itu datang padanya, ia yakin anak itu pasti akan menanyakan sesuatu.
Benar saja. Anak itu menghentikan langkahnya saat tepat berada di depan Melody yang tersenyum padanya.

"Ada apa, Boby?"

"Uhn... Bu Melody tahu Shania kemana?"

"Shania? Dia tidak mengatakan apapun padaku."

"Ibu kan bibinya, dia tidak memberitahu apapun ke Ibu saat dia tidak masuk? Padahal kan biasanya dia memberitahu ibu lebih dulu, jika ia sakit atau ada keperluan sehingga tidak masuk?" Boby memberondong pertanyaan pada gurunya.

Melody menggeleng pelan. "Coba kamu ke rumahnya saja sore ini. Aku tidak bisa kesana karena ada keperluan dengan temanku."

"Saya ada acara keluarga sore hingga malam nanti, Bu. Saya dan ayah harus ke rumah nenek di kota sebelah, memperingati hari kematian ibu..."

OneShotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang