Delapan Pertanyaan.

1.1K 105 21
                                    

Boby melempar tasnya begitu saja di ruang tamu. Entah mendarat di lantai atau tepat sasaran ke sofa—yang memang menjadi sasaran pelemparannya—dia tak peduli. Memasuki ruang kerja untuk menaruh semuanya dengan rapi hanya akan membuang waktu.

Yang hanya ingin ia pedulikan cuma keadaan di dalam. Oh, tepatnya keadaan 'seseorang' di dalam. Ia mendengar sebuah kabar dari Ayana tadi sore, tepat ketika rapat terakhirnya selesai.

Ia merasa jadi lelaki yang tak berguna. Pria yang bodoh. Suami yang tidak pantas. Setengah tahun berumah tangga, ternyata dia sudah 'separah' ini. Saat istrinya sakit dan ambruk di kantornya, dirinya bukanlah yang pertama kali dikabari—tetapi malah sahabat istrinya yang kebetulan satu kantor dengan dirinya.

Entah dari mana Ayana mendapat kabar itu, Boby tidak mau dan tidak bisa mempermasalahkannya sekarang karena rasa bersalahnya jauh lebih besar daripada sekadar hasrat keingintahuan.

Apa mungkin ... Shania tak berniat memberitahunya lebih dahulu dan memilih untuk mengabari Ayana duluan?

Mau tak mau Boby mengakui bahwa kemungkinan itu ada .

Ikatan antara dirinya dan Shania mulai merenggang akhir-akhir ini. Dirinya terlalu sibuk dengan pekerjaan dan bahkan tak jarang harus meninggalkan Shania berhari-hari hanya karena proyek atau rapat di luar kota.

Di sinilah rasa bersalahnya memuncak.

Di sinilah Boby mengerti bahwa selama ini dirinyalah yang salah. Dirinya yang memulai. Dirinya yang menyebabkan Shania jadi lebih banyak diam setiap kali mereka bertemu.

Shania memang tipikal yang dingin, tapi Boby bisa membaca dengan baik bagaimana perubahan mood wanita itu, apalagi saat dia marah atau sedang tak nyaman hati. Acapkali Shania tak mau menatapnya kala mereka berbicara.

Semua karena pekerjaannya. Ada banyak orang di muka bumi yang tidak bisa menyeimbangkan porsi perhatian untuk kerja dan keluarga. Boby yakin dia salah satunya.

Lengan bajunya tergulung hingga siku, dasinya dilempar sembarangan di dekat tas kerja, rambutnya juga tak serapi waktu beranjak pulang dari kantor tadi. Boby sempat mengacak-acaknya berkali-kali di perjalanan sebagai bentuk penghakiman terhadap diri sendiri.

Dia sudah mempersiapkan sekian macam kalimat permintaan maaf yang akan dia sampaikan pada Shania nanti—entah yang mana yang akan diterima, dia cuma bisa bertaruh. Semoga saja Shania mau memaklumi, karena jika muncul kata 'perpisahan' karena kesalahan konyol ini, Boby tak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.

Baru saja Boby akan melangkah naik ke anak tangga pertama, dia berhenti.

Sepasang kaki menjuntai dari ujung sofa ruang tengah. Lantas, dia pun mengayunkan langkah cepatnya ke sana.

"Shan, kenapa tidur di sini?"

Wanita itu tak langsung membuka matanya. Dia hanya bersuara. "Hn," yang terdengar sangat samar di telinga Boby.

"Tubuhmu bisa sakit kalau tidur di sini," Boby menuju ke depan sofa, tangannya sudah terulur ke punggung dan lipatan kaki Shania untuk mengangkatnya.

"Tidak," tolak Shania, menggeleng lemah. "Aku mau di sini saja."

Kening Boby berkerut. "Kamu bisa istirahat lebih nyaman di tempat tidur—"

"Tidak," ulang Shania, menyanggah dengan nada datar yang cenderung dingin, "Di kamar panas."

"Kamu bisa menghidupkan pendingin ruangan."

"Terlalu dingin."

... Baru Boby tahu ternyata Shania bisa jadi tipe pemilih yang cukup mengherankan begini. Bukan Shania yang biasanya.
Pada akhirnya, Boby memaklumi, alasan Shania untuk memilih berbaring di ruang tengah cukup masuk logika—ventilasi di sini lebih besar—membukakan akses untuk angin dari alam bebas keluar-masuk dengan leluasa. Angin alam tentu terasa lebih nikmat dibanding yang buatan.

OneShotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang