Dia adalah seorang pembunuh bayaran. Orang tua angkatnya membawanya dalam dunia hitam itu, semenjak tujuh tahun lalu.
Orang tuanya—tepatnya ayahnya—bertugas untuk memusnahkan siapapun, apapun, kapanpun, seseorang yang diminta oleh kliennya. Dan mayoritas dari itu, adalah saat mereka diminta membunuh seorang pewaris perusahaan. Pewaris muda, terlebih pewaris tunggal. Hingga nanti, setelah dibunuh, perusahaan yang diwarisinya akan terombang-ambing, dan kehilangan arah karena tak ada yang mewarisinya. Dan pemilik perusahaannya akan menjual murah apapun asetnya, untuk menutup kerugian. Setelahnya, klien akan membeli semua aset yang dijual itu, dan mengelolanya kembali untuk kepentingan perusahaannya.
Licik, bukan?Tapi itulah dunia. Sebagian berpendapat, jika tidak dengan cara itu, maka takkan ada kehidupan.
Dan Boby hidup dalam cara itu. Pemaksaan—selebihnya.
Semenjak diangkat di keluarga itu, ia terpaksa mau—walaupun enggan—untuk mengikuti cara hidup yang menopang kedua orang tuanya.
Dan sekarang ia terjebak dalam cara itu sendiri.
Hujan turun mendesak suasana. Di situlah Boby terjebak.
Hujan.
"Boby, kita adalah hujan yang menggugurkan bunga muda. Terima takdirmu," bisik ayahnya. Sekilas lalu ketika sang ayah beranjak pulang dari tanah basah itu.
Boby membeku. Ini kali pertama ia tak menggubris sang ayah yang selalu ia turuti.
Pundak jas hitamnya telah basah sepenuhnya. Tapi ia tak mau tahu, dan selebihnya tak ingin hujan ini turun.
Ia menatap kosong pada tanah yang bergunduk di depannya itu. Yang semakin basah saja oleh tangan-tangan hujan yang kejam. Yang semakin menguarkan aroma basah untuk hidung Boby. Dan perlu dicatat—ia benci itu.
Mungkin ia lebih benci pada kenyataan?
Ya. Lebih menyesali hidupnya yang tersesat pada jalan yang sudah terlalu salah untuk dibenarkan. Dan lebih menyesali tangan kanannya. Ya, tangan kanannya yang masih utuh melekat pada tubuhnya.
Padahal ia ingin tangan itu tak ada. Agar ia tak bisa memegang senjata dan membuang pelurunya untuk sesuatu yang sangat salah.
Tangan kanannya yang telah berlumur merah ratusan kali. Dan merah yang kali ini yang begitu ia sesali, ia takuti, dan ia... tangisi.
"Boby!" panggil sang ayah dari kejauhan. Kakinya sudah siap menapak masuk ke mobil hitam.
Boby menggeleng pelan. Sang ayah menatapnya tajam. Boby menyadarinya."Ayah pulang saja duluan. Aku masih ingin di sini."
Ayahnya diam. Boby tahu sang ayah telah menaiki mobilnya, dan mobil itu telah meninggalkannya seorang diri di pemakaman yang sepi ini.
"Kenapa?" gumam Boby. Tangannya terkepal erat. Bekas kuku-kuku panjangnya tercetak jelas di telapak tangannya yang memucat. Ia menggigit bibirnya, hingga terlihat berkas merah yang semakin menyata pada bibir tipisnya.
Flash of past:
"Boby, ini target kita selanjutnya," asap rokok sampai ke wajah Boby ketika ayahnya berbicara sembari menunjukkan foto itu. "Dia putri tunggal dari kerajaan bisnis terbesar negara ini. Pesaing ayahnya minta agar ia beserta beberapa sepupunya dibunuh, agar ia bisa mengambil alih perusahaannya."
Boby terpaku. Foto itu...
"Ha-haruskah aku yang membunuhnya, ayah?"
Ayahnya melirik, dan tertawa sinis.

KAMU SEDANG MEMBACA
OneShot
Fanfictionya pokoknya ini cuma buat oneshot lah gitu.. hahahah Semua tentang Beby Dan Shania Atau.. Boby Dan juga Shania. Hahaha.