Sembilan

892 60 2
                                    

Siang perlahan bergeser malam, Zhielle sedang berdiri sambil memandangi langit dari arah jendela. Derit pintu membuat wajahnya menengok sejenak. Frankenstein berjalan masuk ke dalam kamar dan dengan wajah sedikit pucat. Iris mata Zhielle mengikuti ayun tubuhnya yang kemudian duduk di atas tempat tidur. Wajahnya pucat, dan nampak tak nyaman. Zhielle yang merasa heran kemudian mendekati Frankenstein yang tak acuh padanya.

"Kau kenapa?" ucap Zhielle, namun Frankenstein seolah tak peduli dan memilih berbaring di atas tempat tidur dan merentangkan kaki panjangnya.

"Kau sakit?" kata Zhielle sekali lagi

"Aku tidak apa-apa" balasnya acuh kemudian dengan mata menutup. Zhielle duduk di seberang ranjang, sedikit menyerong untuk menatap wajah Frankenstein. Ia lalu perlahan mendekat ke arahnya, sangat hati-hati agar tak mengeluarkan bunyi. Di sentuhnya kening pria itu, melerai beberapa batang rambut keemasannya menjauhi matanya. Ia meletakkan jemarinya di atas keningnya cukup lama sambil menghayati. Hingga beberapa menit

"Bukanah, dia lebih panas dari biasanya?" kata Zhielle pada dirinya sendiri

"Apa kau sakit?" katanya lagi sambil mengamati, akan tetapi frankenstein yang lelap tak mendengar ucapannya

"Iya kau sakit. Aku tidak tahu kau juga bisa jatuh sakit. Ini ajaib sekali" gumam zhielle sekali lagi. Zhielle kemudian beranjak keluar kamar, tepat di ruang tamu ia berpapasan wanita barusan, sang pemilik gaun yang sedang menikmati secangkir teh sambil memandangi api dari perapian yang ditutup batu merah. Tampak berbeda dari bagian bangunan lainnya.

Mata wanita itu melirik pelan, Zhielle terhenyak dan mendekatinya perlahan-lahan.

"Apa kau punya tempayan kecil dan handuk? Aku sedang memerlukannya" ucap Zhielle di belakangnya. Wanita itu tak bergeming dan hanya memandangi api yang terus membakar kayu coklat keabuan tak jauh di depannya.

"Kau adalah kepala keluarga?" buka wanita tua itu sambil meletakkan gelas teh di antara jemarinya dengan anggun. Membuat Zhielle tak menyangka. Ia berdiam sambil berpikir megenai jawaban yang mestinya ia berikan

"Kau tidak perlu begitu cemas. Aku tahu kau bukan manusia. Akulah yang sudah meminta bantuan Lukedonia untuk memanggil salah seorang kepala keluarga untuk menjaga desa kami. Aku pikir yang datang seseorang yang cukup tangguh tapi, hanya seorang manusia biasa dan seorang wanita yang kelihatan lemah. Apakah Lukedonia tak menanggapi ini serius dan meminta korban berjatuhan lebih banyak?" ia berbalik dan melirik Zhielle tajam. Sementara ia berdiam dan tenang saja.

"Itu benar. Akantetapi ucapanmu terlalu merendahkan! Aku akan melindungi orang-orang di sini" balas zhielle penuh keyakinan. Wanita itu mengeratkan pegangannya pada tongkat coklat di tangannya. Ia berdiri agak gopoh dan mengamati Zhielle

"Benarkah itu? Kalau begitu, bisakah kau pergi ke arah barat, ada sebuah goa di sana. Aku dengar monster itu berada di tempat itu, dari laporan beberapa peduduk yang sempat melihatnya. Lebih baik menyerang dibandingkan di serang lebih dulu, hal itu akan memakan lebih banyak korban" dengan wajah serius Zhielle sedang berpikir, beberapa kali matanya melirik ke arah lantai kayu yang jadi pijakan kakinya

"Aku akan ke sana sendiri tengah malam ini, tapi untuk beberapa jam ini ada yang harus aku lakukan"

"Itu tak masalah" kata wanita itu cepat

"Kita sepakat!"

Zhielle kembali kedalam kamar, ia membawa sebuah nampan dengan sebuah tempayan perak dan kain berwarna coklat muda di dekatnyya. Sesaat ia memandangi Frankenstein dan beranjak kesisinya. Ia mulai menyeka wajahnya putihnya perlahan. Keringat nampak bertumpuk di keningnya saat kain itu menyeka perlahan keringatnya. Nafasnya terdengar agak memburu. Zhielle kemudian meraih jemari tangan Frankenstein, lalu menggenggamnya dengan kedua jemarinya sambil kedua kelopak matanya memejam.

Fanfic Frankenstein Love Story Part 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang