Ella menatap wajah Rasya yang telah menutup mata untuk selamanya. Ia berjanji ini adalah yang terakhir. Ia harus mengikhlaskan kepergian Rasya. Meski itu adalah hal yang mustahil baginya saat ini. Ia masih belum puas melihat Rasya untuk terakhir kalinya. Beberapa belas jam yang lalu, lelaki yang telah terbujur kaku ini, masih ada di sampingnya. Masih ada bersamanya. Dan masih ada untuk mencintainya. Apa ini benar-benar Rasya yang dikenalnya? Pikir Ella.
Arsya berdiri di sampingnya. Ia kembali merasa harus menenangkan Ella yang keadaannya sudah kacau sekarang. Seragam sekolah yang sudah acak-acakan, ikatan rambut yang sudah tidak benar, dan mata merah sembap.
"Udah, La. Rasya pasti gak pingin liat lo nangis terus kayak gini." Ucap Arsya.
"Tapi.. Gue.. gak bisa Sya. Susah." Ucap Ella sambil sesengukan. Arsya kemudian mendekatkan dirinya pada Ella. Ia dengan ragu mengulurkan tangannya untuk menepuk-nepuk pundak Ella sekadar untuk menenangkannya.
Ella terus menangis. "Udah, La. Ayok keluar dari sini." Ajak Arsya. Ella menggelengkan kepalanya.
"Enggak, Sya. Gue masih pengen liat Rasya." Ucap Ella.
"Ayok, La. Lo udah liatin Rasya lama banget. Kasian Rasyanya." Ucap Arsya. Arsya kemudian menarik tangan Ella secara halus untuk beranjak dari ruangan tersebut.
***
Lingkaran di bawah mata Ella terlihat menghitam dan matanya terlihat lelah. Ia tidak tidur semalaman dan terus menangis. Ia sudah tidak peduli lagi dengan bagaimana penampilan wajahnya yang mungkin akan disebut seperti monster saat ini.
Ella mengendakan skinny jeans hitam dengan cardigan hitam juga sebuah scarf hitam yang ia gunakan untuk menutupi kepalanya. Di sebelahnya, berdiri teman satu apartemennya dan satu tempat kerjanya, Yoga. Ia di sana untuk menemani Ella yang keadaannya seperti sudah hancur berkeping-keping.
Ella menatap dari kejauhan bagaimana semua orang mulai berangsur-angsur pergi dari tempat peristirahatan terakhir Rasya. Yang tersisa kini hanyalah Arsya dan kedua orang tuanya.
"La, ayo kita pulang.." ucap Yoga melihat keadaan tempat pemakaman itu telah mulai sepi dan tidak seramai tadi.
Ella menatap kosong ke depan. Setelah Yoga menyentuh pundaknya, setitik air mata turun menetes melintasi pipinya.
"La, ayok."
"Bentar, Yog. Gue pamitan dulu sama Arsya sama orang tuanya." Ucap Ella. Ella kemudian berjalan mendekati Arsya yang sedang terjongkok di dekat gundukkan tanah yang masih baru. Yoga kemudian mengikutinya dari belakang jaga-jaga jika saja Ella akan tumbang. Ia sangat kelihatan lemah. Semalam, ia tidak ingat sama sekali dengan makan atau apapun itu.
"Sya.." panggil Ella. Arsya kemudian menengok ke arah belakang untuk menatap Ella yang memanggilnya.
Wajah Arsya sudah mencerminkan keikhlasan akan kepergian satu-satunya saudara kandung yang ia miliki. Ia tersenyum dengan tegar.
"Hm, kenapa?" tanya Arsya.
Ella terdiam. Ia kemudian menitikkan lagi satu butir air matanya. Tanpa sadar, Arsya kemudian malah memeluk erat Ella. Keduanya sama-sama dalam keadaan sedang hancur berkeping-keping sekarang.
Sadar Arsya yang memeluknya, Ella kemudian membalas pelukkan Arsya, menahan diri agar air matanya tidak turun kembali. Arsya kemudian mengelus-elus pundak Ella untuk menenangkannya.
"Ikhlasin, La. Lo yang tegar. Inget kalau lo itu gak sendiri. Inget kalau lo itu masih punya orang-orang di sekitar lo yang sayang sama lo." Ucap Arsya tanpa sadar. Ella kemudian hanya terdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Roleplayer's Diary
Roman pour Adolescents"Hidup itu pilihan. Dan inilah yang lo pilih untuk hidup lo. Jalani aja. Nikmati, syukuri." - Ella ------ Siapa bilang, kehidupan di dalam dunia roleplayer susah untuk dicari kerelevanannya dengan dunia nyata? Faktanya, takdir mempertemukan banyak h...