Part 5

15K 537 2
                                    

Sanny POV

Aku duduk di sepeda motor Ryan dengan gelisah. Tak mengira akan ada yang mengenaliku sebagai Sashi, meski penampilan kami jauh berbeda.

Seharusnya, aku sedang berkhayal indah sekarang karena bisa berdua bersama Ryan. Tapi, pria yang menyebut nama Sashi tadi lebih menyita pikiranku.

Begitu juga, tugas kelompok yang tidak berhasil kukerjakan dengan sempurna lantara konsentrasi yang terganggu.

Apalagi ada sebuah SMS masuk dari kontak bernama Jo.

Sas, bisa ketemu nnti malam?

Kuabaikan pesan itu begitu saja, tak berniat membalas sedikit pun.

*

Sashi POV

Apa? Jo mengajakku bertemu 5 hari yang lalu?

Aku menggerutu kesal saat mengecek pesan di ponsel Sanny. Aku kesal karena tak bisa menemuinya malam itu.
Seharusnya aku datang. Jo sendiri yang memintanya bertemu. Jo Alexander.

Aku berinisiatif untuk menghubunginya beberapa kali namun tak di jawab.

Benar-benar sial.

Saat aku tengah depresi sebuah pesan kuterima.

Bisa ketemu hari ini?

Aku cepat-cepat membalas.

Bisa? Dimana?

Tak lama, ia membalas.

Kamu mau aku jemput dimana? Depan klub?

Senyumanku sumringah. Kubalas setuju padanya.

Masih ada 2 jam sebelum waktu bertemu. Kuhabiskan 2 jam itu untuk memilih pakaian terbaik, luluran sebentar, mencatok rambut dan juga bermake up semenarik mungkin.

Jo menjemputku tepat waktu. Dengan cepat aku masuk ke mobilnya yang kemudian melaju.

"Kenapa nggak balas SMS-ku waktu itu?"

"Hmm, nggak ada pulsa."

"Oh, aku kira, kamu mau menghindariku."

"Nggak mungkin, dong."

"Mana tahu kamu lagi sama pacar kamu."

"Aku nggak punya pacar, kok."

Tiba-tiba mobil Jo menepi di pinggiran taman kecil yang sepi.

"Jo, kenapa kamu tiba-tiba ngehubungi aku?" Tanyaku.

"Nggak tahu, tiba-tiba kepikiran kamu aja," ujar Jo menatap kedua mataku membuatku tenggelam dalam sorot mata itu. Perlahan-lahan, wajah Jo mendekat.

Deruan napasnya terdengar lembut. Kusambut bibirnya dengan bibirku. Ciuman kami intens. Bibirnya melumat habis leher dan tengkukku.

"Boleh aku buka kalungmu?" tanyanya disela-sela permainannya.

Aku tak kuasa untuk mengangguk. Ia kembali menggerayangi leherku. Ciumannya perlahan turun hingga ke kedua dadaku. Kami larut selama hampir, 20 menit. Tak pernah aku begitu menikmati sentuhan pria sedalam ini.

Aku berpindah ke jok tempat duduknya, menaiki tubuhnya yang gagah tanpa melepas sedikitpun ciuman itu.

Sayangnya, di sela-sela permainan itu, ponsel Jo berdering. Deringan pertama dan kedua ia abaikan. Namun, akhirnya ia memutuskan untuk menjawab dering ke tiga.

Hasratku tertunda karena mendadak ia ada urusan penting dan harus segera pulang.

*

Sanny POV

"Mana kalungku?" Aku sadar saat bercermin sebelum berangkat sekolah.

Mungkin terjatuh di suatu tempat. Tapi, dimana?

"San, pinjem pulpen dong." Pagi-pagi Badrun sudah menagih jatahnya.

"Pulpen yang kemarin mana?" Kuberanikan diri bertanya.

"Hilang," jawabnya enteng.

"Aku nggak punya pulpen."

Badrun menatapku marah seketika. Ditariknya tas ranselku dengan kasar. "Jangan bohong. Mana sini."

Aku menarik balik ranselku. Hingga terjadi adegan tarik menarik. Akhirnya, Badrun mendorong tubuhku hingga aku jatuh menimpa kursi di belakangku.

"Aww." Pekikku seraya memegangi sikuku yang terluka.

"Badrun, lo ngapain Sanny?" Terdengar suara Ryan marah seraya menghampiriku yang tengah meringis.

Sedetik kemudian, Ryan memapahku meninggalkan kelas tersebut menuju UKS.

"Kamu tunggu di sini ya. Biar aku lapor ke BP sebentar," ucap Ryan.

Aku mengangguk, sambil meringis kecil kulihat punggung Ryan menjauh meninggalkan ruang UKS.

Cowok itu mengapa mendadak begitu perhatian padaku. Ah, tidak, ia pasti hanya menjalankan tugasnya sebagai ketua kelas.

Aku tak ingin terjebak pada harapan semu.

Pulang sekolah, aku menunggu angkot di halte. Tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di depanku.

"Mau aku antar?" Ryan bertanya dari balik helm-nya.

Aku terperanjat sesaat karena tak menyangka kalau itu benar-benar Ryan.

"Aku naik angkot saja," jawabku.

"Beneran?"

Aku mengangguk. "Iya."

"Oke deh, kalau ada apa-apa telepon aku ya."

Lagi-lagi aku mengangguk, kubiarkan Ryan melaju dengan sepeda motornya. Mungkin aku telah melewatkan kesempatan emas, tapi aku masih ada urusan lagi.

Aku harus ke swalayan untuk belanja bulanan. Begitu angkot yang kutunggu datang, aku segera naik lalu turun di sebuah swalayan dekat rumah.

Mie instan. Susu coklat. Gula. Biskuit. Apa lagi ya...

Aku berdiri di depan rak tinggi dengan sebuah trolley di hadapanku.

Tiba-tiba aku merasa ada orang yang mengawasiku. Aku menoleh dan tidak ada siapa pun. Mungkin saja hanya perasaanku.

Aku kembali mendorong trolley dan berhenti di depan rak permen. Begitu seluruh kebutuhanku terbeli. Aku menuju meja kasir untuk mengantri.

Kurasakan ponsel di sakuku bergetar, sebuah pesan masuk.

Sashi....

Pesan dari orang itu lagi. Kuabaikan saja.

Kumasukkan ponsel itu kembali ke saku. Cepat-cepat kuberikan sejumlah uang kepada kasir yang menghitung total belanjaanku dan langsung meninggalkan tempat itu.

Aku berjalan menuju komplek rumahku seorang diri. Namun, sejak tadi, aku merasa ada mobil yan berjalan begitu lambat di belakangku. Saat aku berhenti, mobil itu juga berhenti. Saat aku berjalan, mobil itu juga melaju pelan.

Aku terlalu takut untuk menoleh. Kuputuskan untuk menggenggam erat kantong belanjaanku dan lari sekencang mungkin menuju rumah.

Another GIRL, Sashi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang