Part 22

9K 452 7
                                    

Author POV

Jo pulang dengan kesal. Di dalam kamar ia melepas kemeja dan celananya lalu melemparkannya ke dalam keranjang pakaian kotor di sudut kamar.

Buru-buru ia masuk ke kamar mandi, membasahi tubuhnya di bawah shower. Berusaha mendinginkan dirinya, melepas seluruh hal yang berkecamuk di pikirannya.

Tetesan air dengan deras jatuh tepat di atas wajahnya. Jo memejamkan mata menikmati setiap tetesan itu. Pikirannya berputar pada wajah itu lagi. Ia membayangankan entah Sanny atau pun Sashi, pokoknya wajah itu.

Ia menyesal sekaligus kesal. Perbuatannya pada Sanny tadi pasti membuat gadis itu ketakutan. Ia lupa. Sanny bukanlah Sashi.

Sedetik kemudian, rindu menyelimuti Jo. Andai saja, Sanny adalah Sashi, ia takkan seperti ini. Kata-kata Sashi kemarin kembali terngiang di benaknya. Siapa yang diinginkannya Sanny ataukah Sashi?

Usai mandi, dengan kaos dan celana pendek, Jo ke ruang makan. Di sana ada Vivi yang tengah menikmati secangkir teh dan biskuit.

"Tumben beberapa minggu ini kamu jarang ke klub malam, mabuk-mabuk, dan sebagainya," sindir Vivi melirik Jo sekilas.

Jo tak peduli. Ia beralih ke kulkas dan mengambil minuman dingin dari dalamnya.

"Sebagai gantinya, kamu malah sering ke rumah anak SMA itu, bahkan bolak-balik ke rumah sakit," lanjut Vivi.

Jo barulah menatap Vivi yang juga menatapnya tajam. "Jadi kamu memata-mataiku selama ini?"

"Apa anak SMA itu hamil?" tuduh Vivi.

"Apa yang kamu bicarakan?" tanya Jo tak senang. "Jangan urusi kehidupanku dan jangan memata-mataiku."

"Ckckck," Vivi mendecak-decakkan lidahnya. "Jangan pikir, papamu tidak akan mendepakmu dari perusahaannya setelah mendengar kabar ini. Kudengar, anak itu juga sempat datang ke kantor waktu itu. Benar-benar nekad."

"Tutup mulut kamu, Vi. Aku sudah cukup baik selama ini padamu. Jangan buat aku kehilangan kendali," hardik Jo.

"Kamu pikir, cuma kamu yang tersiksa dengan perjodohan ini? Aku juga. Aku harus meninggalkan pria yang kucintai demi semua ini," ujar Vivi dengan nada tinggi.

Jo mendengus, "Itu salah kamu sendiri. Kenapa kamu mau menikah denganku dan meninggalkanya? Itu artinya, kamu tidak benar-benar mencintainya."

"Aku mencintainya. Tapi, aku tidak sebodoh itu, Jo. Kamu sendiri, memangnya kamu mau meninggalkan segalanya demi orang yang kamu cintai? Mau mengorbankan sesuatu agar bisa bersama orang yang kamu cintai?"

Jo terdiam. Pertanyaan itu terasa sulit baginya. Ia teringat Sashi lagi. Haruskah ia melakukan sesuatu agar bisa bersama Sashi?

Tanpa menjawab pertanyaan Vivi, Jo kembali ke kamar tamu yang telah menjadi kamarnya sejak hari pernikahan mereka. Di dalam kamar, Jo duduk di depan meja kerjanya. Ia mengeluarkan sebatang rokok dan menyelipkannya ke antara bibir.

Dinyalakan laptopnya dan mulai mem-browsing sesuatu di sana. Pikirannya tengah penat. Kebimbangan itu masih menyelimutinya.

*

Ryan mengetuk-ngetuk pensil di tangannya ke meja seraya berpikir. Ia teringat kata-kata Sanny waktu rapat dewan itu. Ia memang mencuri dengar jalannya rapat. dan, ia juga mendengar apa yang Sanny katakan waktu itu di dewan rapat.

Jelas ada sesuatu yang aneh pada Sanny. Mengapa Sanny terlihat seperti orang lain? Sesaat Ryan tak berpikir bahwa suara lantang di dewan rapat itu adalah suara Sanny. Sikap Sanny saat itu juga begitu berbeda dengan sikap keseharian Sanny.

Apa Sanny begitu tertekan dengan masalahnya hingga bersikap seperti itu? Namun, saat bertemu Sanny kemarin, sikapnya terlihat biasa saja seperti Sanny yang dikenalnya selama ini. Ada apa sebenarnya?

Rasa penasaran Ryan memuncak.

"Sebagai kekasih Sanny, bukankah kamu seharusnya lebih mengenal Sanny?"

Kata-kata Sanny saat itu memang terdengar aneh. Mengapa ia berbicara seolah-olah Sanny adalah orang lain? Seolah-olah dia bukanlah Sanny.

Ryan mengeluarkan ponselnya dan segera menghubungi Farah, teman sekelasnya. Ia pun membuat janji untuk bertemu Farah di sebuah kafe.

"Ada apa, Yan? Kok kamu minta ketemu aku di luar sekolah?" tanya Farah sambil duduk di depan Ryan.

"Ada yang mau aku tanya ke kamu, Rah, tentang Sanny."

"Sanny?" Farah sedikit terkejut.

Ryan mengangguk. "Iya, cuma kamu satu-satunya teman yang dekat dengan Sanny selama ini."

"Tanya soal apa?" Farah sedikit enggan. Sebab lantaran kasus Sanny, ia sedikit terkena dampak cibiran teman-teman lainnya. Padahal, ia sama sekali tak ingin terlibat masalah apapun selama ini.

"Kamu temenan sama Sanny sejak kelas 1, kan?"

Farah mengangguk. "Sebenarnya, kami tidak terlalu akrab waktu kelas satu. Hanya teman sekelas biasa. Maksudku, Sanny anak yang sangat tertutup dan tidak mau berteman dengan siapa pun. Namun, karena kami masuk kelas yang sama di kelas 2 dan menjadi teman sebangku, sejak itu kami lebih akrab."

"Apa selama ini, kamu melihat keanehan pada Sanny?"

"Keanehan? Maksudnya?" ulang Farah tak paham.

"Yah, misalnya ia bersikap di luar dari kebiasaannya."

Farah berpikir. "Sejujurnya, pernah beberapa kali Sanny bersikap aneh. Tapi, aku pikir, itu karena dia bad mood."

"Apa itu?"

"Aku pernah melihat Sanny menangis di kamar mandi, dia seperti marah terhadap sesuatu. Tapi, waktu tanya kenapa, dia nggak mau cerita. Dia juga pernah beberapa kali terlihat aneh dan gaya bahasanya juga nggak biasanya. Pokoknya, seperti bukan Sanny yang aku kenal."

Ryan mengerutkan dahinya. "Apa ada keanehan lainnya dari Sanny?"

"Dia sering lupa."

"Lupa?" ulang Ryan bingung.

"Iya, misalnya hari ini adalah hari selasa, tapi dia membawa semua buku pelajaran untuk hari senin. Terus, dia bingung karena mengira hari ini adalah hari Senin. Kadang-kadang juga kalau di kelas, tiba-tiba dia tanya, sekarang jam pelajaran ke berapa, terus tanya apa dian melakukan hal-hal yang aneh?"

Ryan semakin tak percaya mendengar ucapan Farah. Ia tak menyadari hal itu selama ini.

"Lalu, soal klub malam dan cowok di foto itu, apa dia pernah cerita?"

Farah menggeleng. "Tidak pernah. Aku kira, itu bukan foto Sanny meski wajah mereka sangat mirip."

"Walau Sanny tidak pernah cerita tentang isi hatinya, tapi aku tahu kalau dia naksir kamu sejak lama, jauh sebelum kalian jadian," lanjut Farah.

"Benarkah?"

Farah mengangguk mantap, "Iya, aku sering melihat Sanny memandangimu. Ia juga selalu gugup saat bicara padamu dulu, itu karena dia begitu menyukaimu."

"Kenapa aku tidak tahu hal itu? Aku kira, awalnya dia membenciku. Dia selalu terlihat menghindariku."

"Kamu salah paham. Karena terlalu suka padamu, dia jadi canggung jika di dekatmu. Sanny itu tipe anak pemalu dan tertutup. Sekarang, kamu coba pikir, apa anak yang tertutup dan sepemalu itu akan berciuman di depan umum, apalagi keluar masuk klub malam? Untuk berbicara dengan orang lain saja ia takut."

Perkataan Farah cukup menambah keyakinan Ryan. Yakin bahwa ada sebuah kejanggalan, meskipun ia belum tahu kejanggalan apa itu.

"Kamu kenapa tanya soal semua ini?" tanya Farah hati-hati.

"Aku sedang mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Sanny," ujar Ryan.

"Aku akan membantu sebisaku."

"Hmm, aku merasa Sanny menutupi sesuatu. Ia pasti punya penjelasan atas semua ini," ujar Ryan mulai yakin dengan pemikirannya selama ini.






Another GIRL, Sashi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang