Part 6

14K 509 7
                                    

Sashi POV

"I love you, Jo," gumamku tanpa sadar saat Jo menciumi wajahku cukup lama.

"Sudah pukul 5 pagi. Ayo kita mandi sebelum pulang. Aku harus langsung ke kantor," ujar Jo seraya menyudahi ciumannya.

Aku setuju saja. Sanny harus sekolah pagi ini. Aku tak mau membuatnya merengek lantaran absen dari sekolah lagi.

"Kamu mau turun di mana?" Tanya Jo ketika kami sudah keluar dari kamar hotel yang disewanya tadi malam.

"Di jalan itu aja. Biar aku naik taksi," jawabku. Tiba-tiba Jo mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya.

"Jo, aku tidak menjual diri padamu."

"Aku tahu," jawab Jo cepat. "Ini untuk ongkos taksi dan untuk beli keperluanmu yang lainnya."

Aku menatapnya sejenak. Semakin hari, ada perasaan yang tumbuh di dadaku. Aku menemukan sisi yang selama ini Jo tidak tunjukkan di muka umum.

Jo yang tidak mau memandang wanita manapun dengan intens kini menatapku dalam dan aku terperangkap. Mungkinkah, aku jatuh cinta padanya.

*

Sanny POV

Aku terbangun di dalam kelas dengan panik. Kapan aku berangkat ke sekolah? Mungkinkah Sashi?

Cepat-cepat kutatap diriku sendiri. Rambut yang hitam lurus, jari tanpa kuteks, pakaian SMA yang rapi dan normal. Sashi tidak mengerjaiku kan?

Aku membuka pesan di ponselku. Kutemukan pesan Sashi untukku di sana.

Gue masuk sekolah seperti mau lo. Gue juga dandanan ala lo. Kecuali eye liner dan kacamata. Please, at least, lo harus menarik sedikit lah.

Aku baru sadar, kacamata minus 0.5-ku tidak pada tempatnya. Kulanjutkan membaca pesan dari Sashi.

Mulai sekarang, jangan protes apa-apa. Kita jalani hidup. Gue nggak bakal mengacaukan dunia lo. Lo juga mengacaukan dunia gue. Paham?

"San, kacamata kamu mana?" Farah yang baru datang menatapku terkejut.

"Ng, ketinggalan," bohongku.

"Terus, kamu pake eye liner?" Farah mengamati mataku seksama.

Belum sempat menjawb, Ryan sudah menghampiriku. "San.." ia menatapku beberapa detik hingga membuatku gugup.

"Nanti pulang sekolah, kita cari bahan makalah biologi ya," lanjutnya masih dengan menatapku tak biasa.

"I-iya."

Ryan tak langsung beranjak lalu mendekat. "Apa perlu kita ambil kacamata kamu yang ketinggalan?" tanyanya.

Cepat-cepat aku menggeleng. "Tidak usah. Aku baik-baik saja, kok."

"Baiklah," kata Ryan kemudian.

*

"Bahannya uda lengkap, kan?" tanya Ryan melihat kantong plastik kami.

"Iya, sudah lengkap."

Pulang sekolah tadi kami langsung mengunjungi toko-toko untuk mengumpulkan bahan biologi.

"Kamu suka es krim?" tanya Ryan tiba-tiba. Aku terperangah sesaat lalu mengangguk.

"Aku tahu tempat es krim yang enak dekat sini. Ayo kita ke sana!" Ajaknya.

Maka duduklah kami di sebuah warung es krim bersisian. Aku memang sangat menyukai es krim.

"Jadi, kamu di Jakarta sendirian aja?"

Aku mengangguk. "Iya, papa dan mamaku sudah cerai. Sekarang mereka tinggal di papua dan Australia bersama keluarga baru mereka."

Ekspresi Ryan tampak bersimpati usai mendengar ceritaku. Dia adalah teman keduaku yang kuberitahu soal ini, selain Farah.

"Kenapa kamu nggak ikut salah satu dari mereka saja?"

Aku berpikir sejenak. "Aku tidak ingin pindah ke Australia. Aku pikir, tidak masalah tinggal sendirian di sini."

"Kamu benar-benar tangguh."

Aku menyunggingkan senyum tipis yang juga dibalas senyuman olehnya.

"Aku kira, kamu selama ini tidak mau berteman denganku karena kamu anak yang begitu tertutup." Katanya.

"Aku hanya terkadang merasa tak nyaman dekat dengan orang lain."

"Sama aku juga?"

Aku menggeleng. "Aku sangat nyaman berada di dekatmu."

Kurasakan Ryan terdiam sesaat, terperanjat mendengar ucapanku.

"Makanya, kamu harus dekat terus denganku."

Kami saling melempar senyum. "Awas, esnya cair," ujarku saat lelehan es krimnya jatuh ke atas celana abu-abunya.

Kami berdua sama-sama tertawa lepas. Baru kali ini, aku merasa senyaman ini dengan seorang cowok. Terlebih, cowok itu adalah Ryan yang kukagumi sejak lama.

*

Sashi POV

"Jo, aku nyaman banget sama kamu." Aku berkata lembut pada Jo yang sedang duduk merangkul pundakku.

Jo yang tengah bertelanjang dada membelai lembut rambutku.

"Tapi, istri kamu apa nggak curiga kamu sering nggak pulang ke rumah?"

"Dia juga tak peduli padaku."

"Tapi, diselingkuhin itu rasanya nggak enak."

"Memangnya, kamu pernah diselingkuhin?" Tanya Jo tersenyum nakal menatapku.

"Nggak sih. Tapi, aku pernah melihat orang berselingkuh di belakang pasangannya," ujarku menerawang.

"Oh ya? Terus."

"Itu menyakitkan. Apalagi pasangannya sangat mencintainya tapi harus dikhianati oleh orang itu. Orang brengsek itu."

Aku menggigit bibirku. Ingatan itu masih jelas di benakku. Tanpa terasa air mataku mengalir.

"Hei, kenapa kamu malah menangis?" Ujar Jo lembut seraya menyentuh lembut pipiku.

"Aku ingin lupa ingatan, Jo. Aku nggak sanggup menanggung semua beban ini."

Jo memeluk tubuhku. "Sas, kamu punya aku. Kamu bisa berbagi beban itu sama aku."

Another GIRL, Sashi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang