Part 3

19.1K 578 1
                                    

Sashi POV

Sanny adalah cewek lemah yang merepotkan. Setiap kali dia marah dengan kelakuanku, dia pasti menyingkirkan semua barang-barangku dari kamar tidurnya.

Bayangkan, dia membuang satu setel pakaian yang kubeli seharga satu juta lebih di tong sampah.

Dan juga, alat-alat make up-ku. Mana ada pria yang akan melirikku jika berjalan-jalan dengan penampilan Sanny yang kuper dan cupu.

Apalagi kacamatanya yang selalu mengganggu itu. Padahal, ia tidak terlalu butuh kacamata itu. Tinggal pakai softlens atau sedikit memaksakan pandangannya, hal itu masih bisa diatasi.

"Sanny, sialan. Gara-gara semua benda gue, lo buang. Gue harus cari uang lagi," ujarku kesal.

Tepat di saat bersamaan, ponselku berbunyi. Pucuk dicinta, uang pun tiba.

"Halo, Papi, lama nggak ngehubungi Sashi, Sashi kira servis Sashi kurang," ucapku manja.

Selama ini Sanny beberapa kali terbangun saat aku sedang senang-senang bercinta. Tapi, Sanny masih sangat beruntung karena belum pernah terbangun di pelukan laki-laki tua parubaya ini.

Jika tidak, aku yakin dia akan pingsan saat itu juga.

Aku memanggilnya Papi. Kukenal lewat seorang teman. Si bangkotan yang doyan gadis remaja.

Aku baru dua kali memenuhi nafsu birahinya. Malas sebenarnya berhadapan sama pria tua itu. Tapi, mau gimana lagi, 3 jam saja bisa dapat 5 juta, meski harus berjuang membangunkan adiknya dulu.

Sanny, demi bertahan hidup, gue harus kayak gini. Lo harusnya gak mempersulit hidup gue.

*

"Terima kasih sayang." Papi menurunkanku di depan klub.

Untung bangkotan itu sedang sial, gara-gara ada rapat mendadak, dia harus ke Surabaya. Setengah jam doang tapi tetap dapat 5 juta. Gile bener.

Sanny, lo harus pinter-pinter jaga tubuh lo. Tubuh lo tambang uang.

Hanya dengan menunjukkan kartu member VIP, aku bisa masuk ke salah satu klub malam paling eksklusif di Jakarta.

"Sendirian?" Tiba-tiba aku mendengar sebuah suara berat di sisiku yang tengah duduk menghadapi meja bar.

"Hai, Jo. Iya nih." Sapaku mengenali lelaki tersebut.

"Oh ya, waktu itu uangnya kenapa nggak kamu ambil?" Tanyanya ringan tanpa menaruh minat lebih padaku.

Aku mengerutkan dahi. Lalu, ingat kalau Sanny terbangun saat aku tengah asyik bercinta dengan Jo.

"Ng, aku lupa ambil," bohongku.

Dia tampak mengangguk lalu memesan minuman pada bartender.

Aku mengenal Jo cukup lama. Dia juga salah satu penghuni klub ini kelas VIP. Putra salah satu pengusaha paling berpengaruh di Jakarta. Usianya sekitar 25 tahun, tapi sudah punya istri, hasil perjodohan orang tuanya.

Postur tubuh cowok itu tinggi dan maskulin khas pria lelaki dewasa. Siapa wanita yang tidak ingin menghabiskan malam dengannya.

"Jo, yuk!" Tiba-tiba seorang wanita bertubuh tinggi bak seorang model menghampirinya.

Wajah wanita itu blasteran. Ia menatapku dari ujung rambut sampai kaki merendahkan.

"Bentar, sayang." Jo meletakkan gelas minumannya.

"Aku duluan " Sosok Jo berlalu dalam pelukan wanita blasteran yang langsung bergelayutan manja di lengannya.

Aku geram. Pertama, karena wanita itu memandangku seperti itu. Kedua, karena Jo berada dipelukan wanita itu. Ketiga, karena seharusnya Sanny tidak muncul saat aku sedang bersama Jo hari itu.

Setelah sekian lama aku mengincar Jo, sampai akhirnya kudapatkan kesempatan itu. Kenapa Sanny harus bangun di saat aku belum sepenuhnya selesai menciptakan kenangan indah bersama Jo. Sial sekali.

Sekarang, Jo bakal menganggapku sama dengan wanita lain yang dikencaninya.

Sanny, lo mengacaukan hidup gue. Awas lo ya.

*

Sanny POV

"Kamu tidak masuk sekolah selama 2 hari. Kamu sakit?" Tanya Bu Aida, wali kelasku.

Ia menatap wajahku yang tampak keringat dingin. Aku memang tak enak badan sejak bangun tadi pagi. Aku tahu, ini semua perbuatan Sashi yang kembali mengganggu hidupku.

"Iya, Bu. Maaf saya tidak sempat kirim surat."

Bu Aida menatapku lalu berkata, "apa tidak lebih baik kamu tinggal dengan sanak saudara atau teman dekat? Jadi kalau kamu tiba-tiba sakit, ada orang yang mengurus dan mengabari pihak sekolah."

Aku menunduk. Melihatku tak menjawab, ia lalu meminta siswa lain memanggil Ryan.

Aku gugup lagi saat cowok itu datang ke kantor.

"Ada apa, Bu?"

"Duduk, Ryan. Ibu mau bicara. Karena kamu ketua kelas, ibu mau memberi amanah padamu."

Aku melirik Ryan sejenak lalu kembali berpaling.

"Sanny ini kan tinggal sendirian di Jakarta. Jadi, kalau tiba-tiba sakit, tidak ada keluarga yang bisa mengabari sekolah. Jadi, khusus untuk Sanny, dia bisa langsung menghubungimu saja ya untuk masalah surat izin sakitnya."

"Baik, Bu," sahut Ryan.

Kami pun diperbolehkan kembali ke kelas. Sengaja aku berjalan di belakang Ryan. Namun, Ryan berhenti dan mensejajarkan langkah kami.

"Kamu sakit apa memangnya?" tanyanya.

"Hmm, demam."

"Kalau ada perlu apa-apa atau terjadi apa pun, kamu boleh telepon aku. Kamu punya nomorku kan?"

Aku mengangguk. "Baik. Terima kasih."

Karena tak ada yang ingin dibicarakannya lagi, Ryan akhirnya berjalan mendahuluiku.

Sungguh, aku tak tahu apa yang sedang kurasakan. Senang lantaran dapat perhatian lebih dari Ryan atau malah merasa tak nyaman karena harus menjadi beban cowok itu. Entahlah yang pasti aku ingin bersenandung.

Sanny, kamu cukup beruntung kali ini.

Another GIRL, Sashi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang