Part 9

11.9K 474 5
                                    

Sanny POV

Aku merapikan kancing kemejaku. Sudut mataku berair lantaran menahan tangis. Menyesal dengan apa yang barusan kulakukan. Aku bahkan tak mengenal pria itu.

Pria itu tampak membuka kaca mobilnya lalu merokok.

"Kalau pakai pakaian sekolah kamu bener-bener mirip ABG. Sikapmu sekarang juga, kayak ABG yang belum pernah diapa-apain." Ia terkekeh pelan.

"Aku mau pulang."

"Iya, bakal aku antar pulang. Jangan nangis dong. Kamu kelihatan imut banget sekarang."

Aku memalinkan wajahku. Di saat bersamaan SMS Ryan masuk.

San, kamu baik-baik aja? Telepon aku kok nggak kamu angkat?

Ryan, tolong aku. Tolong aku.

"Siapa? Pacarmu itu?" Tanyanya penuh selidik.

Tak kujawab pertanyaannya. Kugenggam erat ponselku. Maafkan aku, Ryan.

*

Sashi POV

Sanny kurang ajar. Berani-beraninya dia bermain dengan priaku. Beraninya dia berciuman dengan Jo. Dasar wanita jalang. Dia bahkan menikmati ciuman itu.

Dan juga, gara-gara dia, Jo batal mengajakku liburan ke Bali.

Sialan lo Sanny.

Aku melempar semua bantal dan selimut ke lantai dengan penuh amarah.

Di saat bersamaan, ponselku berbunyi. Ryan, pacar Sanny menelepon.

"San, kamu udah baikan? Aku khawatir banget. Aku ke rumah kamu ."

Aku mengerutkan dahi, seketika mendapat ide untuk balas dendam ke Sanny.

"Lo harus rasain, apa yang gue rasain saat ini."

Ryan datang sekitar pukul 8 dengan membawa bubur. Buatan mamanya katanya.

Kupersilahkan ia masuk dan duduk di sofa ruang tamu. Kuletakkan bubur itu di dapur lalu kembali duduk bersamanya.

"Kamu udah baikan? Mau aku antar ke dokter?"

"Nggak usah. Aku uda baikan. Apalagi ada kamu di sini."

Saat suasana tepat, kukeluarkan jurus rayu manjaku. Aku mendekati tubuh Ryan lalu bergelayut mesra di lengannya.

Dapat kurasakan tubuh Ryan menegang. Aku tahu, ia dan Sanny tidak melakukan kontak fisik apa pun selama ini. Jangankan making love, berciuman saja mereka tak pernah.

"Hmm, Yan. Aku sayang banget sama kamu," ujarku sambil meletakkan kepalaku di dadanya.

"Aku juga, San." Jawabnya tertahan.

Dengan perlahan, aku meniup lembut lehernya. Kukecup lembut di sana dan Ryan menelan ludah.

Aku bergerak semakin berani. Kueelus lembut bibir merah mudanya. Ryan bersiaga. Ragu antara menghalangiku atau membiarkanku bermain di wajahnya.

Aku mendekatkan bibirku ke bibirnya. Ia menatapku ragu sesaat. Namun, itu tak menghalangi keinginanku untuk menciumnya.

Ryan yang awalnya seakan menolak akhirnya luluh juga. Ia membalas ciumanku.

Kutuntun tangannya untuk menjelajahi setiap senti lekuk tubuhku. Bisa kulihat sesuatu bangkit dari balik reseleting celananya.

Perlahan aku berpindah ke lantai. Bersimpu di antara kedua kakinya.
Bisa kulihat wajah Ryan bersemu merah saat tahu apa yang akan aku lakukan padanya.

Kulakukan tugasku di sana dengan sangat baik. Ryan tak lagi berdaya. Ia menatapku seraya menyebut-nyebut nama Sanny.

Aku tertawa dalam hati. Kena lo, Sanny. Gue kerjai pacar lo.

*

Sanny POV

Aku terbangun di pagi hari. Biasanya pagi-pagi Ryan sudah muncul dengan sepeda motornya. Sayangnya, tidak.

Aku meneleponnya berulang kali tapi tak diangkatnya. Kuputuskan untuk berangkat sekolah sendiri.

Di sekolah, aku melihatnya tengah menyiapkan barisan. Ia menatapku sekilas, tanpa senyum lalu cepat-cepat berpaling.

Ada apa dengannya? Apa mungkin dia marah lantaran aku tak memberinya kabar sama sekali sejak kemarin.

Sesampainya di kelas, ia masih tampak dingin sangat enggan menatapku.

Kukirim pesan padanya.

Kamu kenapa, Yan? Apa gara-gara kemarin?

Tak ada balasan darinya. Padahal kulihat ia membaca pesan itu.

Yan, kamu marah gara-gara kemarin?

Barulah ada pesan masuk darinya.

San, please, jangan bahas sekarang. Kita ngomong lagi nanti.

Sepulang sekolah, Ryan menemuiku. Ia memintaku naik ke sepeda motornya lalu membawaku ke tempat yang jauh dari keramaian.

"San, kamu tahu kan, aku cinta banget sama kamu." Ryan berkata serius menimbulkan firasat yang buruk.

Aku mengangguk. "Aku juga cinta sama kamu, Yan."

"Aku tahu, San. Kita memang saling mencintai, tapi.." katanya.

"Tapi apa?" Aku menunggu tak paham.

Kurasakan tangan Ryan menggenggam erat kedua tanganku seraya menatapku tajam.

"Tapi, kita punya batasan dalam sebuah hubungan. Aku ingin menjalani hubungan yang sehat dengan kamu."

Aku menatapnya tak paham. "Maksud kamu?"

"Yang kemarin kita lakukan itu salah, San. Kita nggak seharusnya melakukan hal semacam itu. Aku nggak pacaran sama kamu karena sekadar ingin itu dari kamu. "

Aku semakin mengerutkan dahiku. Apa maksud semua ini? Apa yang aku dan Ryan lakukan kemarin? Jangan-jangan Shasi...

"Jangan pancing aku lagi untuk berbuat yang nggak-nggak seperti kemarin."

Aku nyaris menangis. Apa yang telah Sashi lakukan pada hubungan kami? Melihat wajah enggan Ryan membuatku semakin terpuruk. Ryan adalah cowok baik-baik. Apa yang akan dipikirkannya tentangku sekarang. Aku benar-benar malu.

"Kamu jangan nangis, San. Aku juga minta maaf karena nggak bisa mengontrol diriku sendiri kemarin."

Bukan itu, Yan. Jika kamu tahu seluruh kebenaran tentangku. Kamu pasti akan membenciku, benar-benar membenciku.

Another GIRL, Sashi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang