Prilly menatap tubuhnya yang terbalut kebaya modern berwarna putih tulang dengan model sederhana tanpa ekor panjang pada cermin besar di kamarnya. Tatanan rambut dengan sanggul sederhana namun terlihat elegan serta polesan make up yang terkesan natural membuat wajahnya semakin terlihat cantik.
Seharusnya hari ini adalah hari bahagianya. Hari yang sudah lama ia nantikan. Semua keluarga berbahagia menyambut hari ini tiba meskipun terselip juga rasa haru bagi kedua orang tua Prilly karena putri kesayangannya akan segera melepas masa lajangnya.
Tapi kenyataannya justru berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan Prilly saat ini. Setitik air mata yang menetes dari mata indahnya bukan lagi air mata bahagia, melainkan air mata kesedihan. Waktu yang dulu ia harapkan cepat berputar untuk sampai pada titik ini justru sekarang malah sebaliknya. Ia berharap waktu ini berjalan lambat bahkan jika bisa ia ingin menghentikannya detik ini juga demi menunggu janji seseorang.
Ali, pria yang berjanji pada Prilly akan datang sebelum hari pernikahannya tiba justru malah menghilang tak ada kabar. Bahkan hingga beberapa menit lagi Prilly akan resmi menjadi seorang istri dari Raffa, Ali sama sekali tidak bisa dihubungi. Haruskah Prilly memendam kekecewaan untuk kesekian kalinya? Selalu percaya pada janji yang terucap dari mulut manis Ali tapi berkali-kali juga mengingkarinya membuat Prilly merasa menjadi wanita bodoh karena dibutakan oleh cinta.
"Ternyata kamu gak pernah berubah, Lang! Gue benci sama lo! Gue benci!" Prilly memekik pelan diiringi buliran air mata kekecewaan. Tangannya meremas-remas tisu dalam genggamannya. Jika saja Prilly tidak bisa mengontrol emosi atas kekecewaannya yang mendalam rasanya ia ingin membanting semua barang yang ada di kamarnya untuk meluapkan kemarahannya.
Tok ... tok ... tok ...
Suara ketukan pintu membuat Prilly cepat-cepat menyusut air matanya.
"Prill, boleh gue masuk?" terdengar suara Meta dari balik pintu.
"Masuk aja, Ta!"
Meta berjalan memasuki kamar dan menghampiri Prilly yang sedang duduk di depan meja rias. Hari ini Meta terlihat cantik dengan balutan dress model baju hamil berwarna peach yang menutupi perut buncitnya. Satu tahun yang lalu Meta menikah dengan lelaki yang menjadi pacarnya semasa SMA, yaitu Rio.
Meta tersenyum bahagia melihat sahabat dekatnya akan segera menyusulnya melepas status gadisnya.
"Prill, sebentar lagi calon suami lo bakal ngucapin ijab kabul. Setelah itu lo resmi jadi seorang istri. Selamat ya! Akhirnya lo nyusul gue juga," seru Meta sebelum memeluk erat sahabatnya itu.
"Iya, makasih, Ta," balas Prilly datar masih memeluk Meta.
Dahi Meta mengerut heran mendengar jawaban Prilly yang terkesan biasa saja. Ia lantas melepas pelukannya.
"Lo bahagia kan, Prill? Kok, nada bicara lo biasa-biasa aja?" tanya Meta.
"Ya, gue bahagia lah, Ta. Ini kan hari yang gue tunggu-tunggu."
"Tapi lo keliatan sedih gitu? Mata lo merah. Lo abis nangis?"
Prilly menghela napasnya yang terasa berat. "Gue nangis bukan karena sedih, Ta. Tapi gue bahagia. Ini tuh air mata bahagia bukan air mata kesedihan. Masa iya gue sedih di hari pernikahan gue. Kalaupun gue sedih, itu karena gue bakal pisah dan nggak tinggal serumah lagi sama orang tua gue," tutur Prilly berbohong sembari menghapus air matanya yang kembali menetes dengan jemari telunjuknya yang ditekuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Kala Itu (End)
RomanceDalam hidup biasaku dirimu muncul begitu saja. Yang tak pernah kuduga dan tak pernah kusangka. Awalnya kuterima dirimu hanya dengan imajinasiku sendiri. Ternyata karena itu aku mempunyai bunga cinta padamu. Padahal semua itu semu. Itu hanya permaina...