Latte -13-

14K 1K 53
                                    

"Lo udah makan?" Tanya Sam saat dia menemukan Vanessa di balkon kamarnya. Vanessa mengangguk. Dia bangkit berdir untuk mengambil nampan di tangan Sam. Nampan itu berisi vanilla latte dan mocca latte. Latte kesukaan mereka tentu saja. Hanya saja rasanya tak seenak di kafe karena minuman mereka sekarang adalah minuman seduh.

Vanessa meletakkan nampan itu di meja yang ada di balkon. Lalu dia duduk di samping kanan meja itu, sedangkan Sam menyusul di samping kiri.

"Lo udah minum obat?" Ucap Vanessa memastikan. Sam hanya menggeleng.

"Baguslah." Ucap Vanessa. Jangan heran dia mengatakan seperti itu. Jika kita hendak minum kopi atau sesuatu yang berkafein, kita tidak boleh minum obat. Itu akan bereaksi buruk bagi tubuh kita. Bahkan, anak SMP pun tau akan hal itu.

"Apa yang mau lo omongin." Ucap Vanessa membuka pembicaraan.

"Mmm... Gue bingung mulai dari mana... Gimana kalo keluarga?" Tanya Sam. Vanessa hanya mengangguk.

"Mm... Jadi.. Lo tau keluarga gue, kan? Keluarga biasa dengan orang tua yang tidak mau ketinggalan trend, seorang adik perempuan annoying, yang satu lagi pendiam. Selalu ramai dan rusuh setiap saat... Gak ada yang istimewa." Ucap Sam menatap ke arah langit malam. Vanessa disuruh oleh Zolla untuk menginap lagi malam ini. Kedua kalinya dia menginap setelah 2 bulan lalu dia juga menginap.

Vanessa terkekeh mendengar ucapan Sam. Sam menoleh menatap perempuan yang memakai kaus abu abunya yang kebesaran di tubuh Vanessa, dan celana basket merah hitam yang menutupi kaki Vanessa hingga bawah lututnya dengan heran. "Apa yang lucu?" Tanya Sam. Vanessa menggeleng.

"Itulah yang buat keluarga lo istimewa. Harusnya lo sadar itu. Lengkap, ramah, ramai, baik. Keluarga sempurna yang dikasih Tuhan ke lo." Ucap Vanessa tersenyum. Bukan senyuman lembut yang Sam dapati, tapi senyuman sendu.

"Kenapa?" Tanya Sam simpatik. Vanessa hanya menggeleng pelan.

"Lo bisa cerita ke gue. Gak akan gue kasih tau siapa siapa." Ucap Sam meyakinkan Vanessa. Tapi Vanessa hanya diam. Termenung. Memikirkan sesuatu tentang masa lalunya yang kelam.

"Gak apa kalo gak mau cerita." Ucap Sam akhirnya. Sepertinya Vanessa memang lebih suka memendam semua hal sendiri.

Vanessa menatap ke langit, menatap langit hitam pekat yang ditaburi sinar bintang yang dapat mengurangi kepekatan itu. Ada bulan yang menjadi cahaya yang paling terang di antara benda langit itu, seolah ingin menunjukkan keindahan dan pendar cahayanya pada seluruh penghuni muka bumi.

Setetes air mata pun turun ke pipi Vanessa. Sam yang melihat itu hanya bisa diam, tidak tau harus melakukan apa.

"Gue anak angkat dari Bunda sama Ayah. Mereka ngangkat gue jadi anak waktu gue umur 8 tahun." Ucap Vanessa. Bulir bulir air mata terus menuruni pipinya satu demi satu. Dia menghentikan ceritanya dan mengambil nafas panjang.

"Orang tua kandung gue sebenernya itu, kakak perempuan tertua -kakak tiri- dari Ayah. Gue anak tunggal, yang lahir 2 tahun lebih dulu dari Aldo, sepupu gue yang sekarang jadi adik tiri gue." Vanessa menghela nafas panjang, menenangkan dirinya, dan melanjutkannya lagi.

"Ayah gue itu orang yang kasar. Gue sama Mami -sebutan gue buat ibu kandung gue- sering dipukuli kalo dia lagi emosi. Dia juga sering keluar malem dan gak balik sampe beberapa hari. Gue tau mami tertekan hidup kayak gitu. Kita pura pura jadi keluarga yang baik dan harmonis di depan semua orang."

"Gue memang dipenuhi kebutuhan fisik, tapi kebutuhan kasih sayang gue diterlantarkan gitu aja sama dia. Gue sering nangis di sekolah kalo misalnya lomba ayah dan anak, lomba tujuh belasan yang harus ngajak kedua orangtua, dan waktu pentas seni, dia bahkan nggak sedikitpun meluangkan waktunya buat ngeliat gue tampil." Vanessa menyeka air matanya. Sam mengusap punggung Vanessa. Memberi kekuatan lewat sentuhannya.

Our Coffee LatteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang