Mungkin hari ini memang hari yang sial bagi Sam. Rencana api unggun yang seharusnya diadakan malam ini gagal total karena hujan rintik rintik. Dan sialnya, aula malam ini -setelah pertemuan dan seminar lebih tepatnya- dibereskan agar dapat digunakan esok hari, yang entah apa acaranya, Sam belum melihat jadwal, karena jadwal itu ada di tangan Vanessa.
Alhasil pukul 9 malam, semuanya langsung tidur malam. Sam yang belum bisa tidur, memilih untuk mengamati rintik rintik hujan yang semakin menjadi deras malam itu. Udara yang begitu dingin membuatnya harus menggunakan jaket sekaligus selimut yang untungnya dibawanya -lebih tepatnya Sherra yang membawakannya- malam ini.
Dia melirik Vanessa dari sudut matanya. Vanessa menggunakan celana jeans selutut dengan kaus lengan pendek. Sam tidak mengerti mengapa Vanessa tidak memakai jaket atau berusaha berganti baju.
Hujan semakin deras dan berpetir. Sam mengamati hujan dengan bosan sambil menggambar gambar abstrak pada kaca jendela yang sudah ia beri nafasnya.
Tetapi, kegiatan membosankan Sam itu terhenti ketika Sam mendengar suara isakan. Sam menepuk dahinya pelan.
Vanessa trauma terhadap hujan.
Seharusnya Sam mengingat hal itu. Sam memang mencoba untuk tidak peduli. Tapi kali ini, rasa dan keinginan melindungi Vanessa mengalahkan ego Sam yang membesar.
Sam melangkah mendekati Vanessa. Meskipun ragu ragu, dia berlutut di hadapan Vanessa dan hendak mengelus rambut gadis itu, tapi dihentikannya karena dia tau, gadis itu bukan miliknya. Kali ini Sam benar benar sadar, kalau tidak peka terhadap perasaan sendiri akan menimbulkan penyesalan di akhirnya. Seperti sekarang.
"Ness... Jangan nangis dong..." Ucap Sam. Tiba tiba, tanpa aba aba Vanessa langsung masuk ke dalam pelukan Sam dan memeluknya erat. Sam kaget. Sangat kaget.
"Ne-ness... Lo ngapain?" Ucap Sam masih diam tak berkutik. Vanessa tidak menjawab. Dia hanya mengeratkan pelukannya kepada Sam sambil terisak dan menenggelamkan kepalanya di dada Sam untuk meredam suara petir yang semakin keras menyambar nyambar.
"Gu-gue... T-takut..." Lirih Vanessa lalu kembali terisak. Sam menghela nafas menyerah. Sampai kapan pun, dia tidak akan bisa menang dari tangisan gadis itu. Sam merengkuh kepala Vanessa dengan lengan kanannya, untuk meredam suara petir, sementara tangan kirinya bergerak untuk memeluk tubuh Vanessa dan mengelus punggungnya untuk menenangkan Vanessa.
"Ssstt... Gue gak suka lihat cewek nangis. Jadi keliatan 10 kali lebih jelek kalo lo nangis." Ucap Sam lembut. Walaupun 10 kali lebih jelek pun, lo tetep keliatan cantik. Karena lo cantik apa adanya. Batin Sam.
Vanessa perlahan lahan meredakan tangisnya. Tetapi, dia tidak melepaskan pelukannya dari Sam. Entah kenapa, Vanessa selalu merasakan kehangatan dan kenyamanan serta rasa aman jika berada di dekat Sam.
"Ness... Udah kan... Sekarang lepasin pelukannya." Ucap Sam kembali dingin. Kembali mengingat fakta kalau Vanessa bukan miliknya. Vanessa seperti tersambar petir, lebih besar dari petir yang ia dengar tadi.
Vanessa diam, tidak melepaskan pelukannya. "Please... Gue takut Sam..." Ucapnya pelan. Sam bersaha kembali tidak peduli dengan Vanessa, dan kali ini, egonya menang. Dia melepaskan Vanessa dengan kasar. Lengan Vanessa sampai tergores kuku Sam, dan punggungnya menabrak kaki meja kelas yang sudah ditumpuk di sisi tepi kanan dan kiri.
Vanessa meringis. Tulang punggungnya seakan akan patah. Dia tidak bisa menahannya lagi. Emosinya sudah di ubun ubun. Ia tidak tau alasan Sam mendiamkannya seharian penuh seperti ini. Tapi yang jelas, Sam tidak memiliki hak untuk berbuat kasar kepadanya.
"SALAH GUE APA, SAM?!!" Bentaknya. Air matanya kembali menetes karena emosinya. Tapi jawaban yang diterima Vanessa tidak kalah mengejutkannya. Oh, bukan jawaban, tetapi ekspresi Sam. Dingin dan tidak bersahabat. Sisi lain dari Sam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Coffee Latte
Teen FictionOur Series 1, cerita pertama dari trilogi Ours. Chriseo Samuel Christian, anak dingin dan tidak tersentuh, terutama pada orang yang tidak dikenalnya. Suka menghabiskan waktu dengan novelnya di Frez Cafe, meminum Vanilla Latte yang disukainya. Most w...