Bab 13. Nama dari Toa Siocia

1.1K 20 4
                                    

Hawa pedang serasa dingin menggidikkan, ibaratnya lapisan salju di puncak bukit nun jauh di sana yang sepanjang tahun tak pernah meleleh, kau tak perlu menyentuhnya tapi dapat merasakan hawa dingin dari ujung pedang yang tajam, membuat darah dan tulang belulangmu menjadi kaku dan membeku karena kedinginan.

Pedang sesungguhnya memang dingin, tapi bila di tangan seorang yang benar-benar jago, baru akan memancarkan hawa pedang yang begini dingin dan menggidikkan hati.

Sebilah pedang menyambar datang dan tiba-tiba berhenti di tengah jalan, jaraknya dengan nadi besar di belakang leher A-kit tinggal setengah inci lagi.

Nadi darahnya sedang berdenyut keras, otot-otot hijau di tepi nadi yang mengejang keluarpun ikut berdenyut keras.

Akan tetapi orangnya sama sekali tidak bergerak.

Sewaktu bergerak ia lebih cepat dari hembusan angin, tapi sewaktu berdiri tegak lebih kokoh dari bukit karang, tapi ada kalanya bukit karangpun akan longsor dan berguguran.

Bibirnya telah merekah kekeringan, seperti batu-batu karang di atas puncak bukit yang merekah kena hembusan angin.

Air mukanya persis seperti batu karang, sedikitpun tanpa pancaran emosi, kaku dan dingin.

Apakah dia tak tahu kalau pedang itu menusuk satu inci lagi ke depan maka darah segar dalam tubuhnya akan memancar keluar?

Apakah ia benar-benar tidak takut mati?

Terlepas apakah ia benar-benar tidak takut mati atau tidak, yang pasti kali ini dia pasti akan mampus.

Ciu Ji Sianseng menghembuskan napas panjang, Toa-tauke menghembuskan pula napasnya panjang-panjang, mereka hanya menunggu tusukan dari Mao-toa-sianseng itu ditusukkan lebih ke depan.

Sepasang mata Mao-toa-sianseng menatap tajam-tajam urat nadi di belakang tengkuk yang sedang berdenyut keras itu, sinar matanya memancarkan suatu perubahan yang aneh sekali, seakan-akan penuh mengandung rasa benci yang mendalam, seolah-olah juga mengandung penuh penderitaan dan siksaan.

Kenapa tusukan itu tidak dilanjutkan?

Apa yang sedang ia nantikan?

Ciu Ji sianseng mulai tak sabar, tiba-tiba ia berteriak:

"Hayo lanjutkan tusukanmu itu, jangan kau menguatirkan keselamatan jiwaku!"

Kutungan samurai di tangan A-kit masih berada setengah inci di atas tenggorokannya, tapi dalam genggamannya masih ada sebilah pedang, kembali ia berseru:

"Aku yakin masih sanggup menghindari tusukannya itu!"

Mao-toa-sianseng tidak memberikan reaksi apa-apa.

Ciu Ji sianseng kembali berseru:

"Sekalipun aku tak mampu menghindarkan diri, kau harus membinasakannya, selama orang ini belum mati, maka tiada jalan kehidupan lagi untuk kita, kita mau tak mau harus menyerempet bahaya untuk melanjutkan pertarungan ini"

Toa-tauke segera berteriak pula:

"Tindakan semacam ini tak bisa dikatakan sebagai menyerempet bahaya lagi, kesempatan yang kalian miliki jauh lebih besar daripada kesempatannya"

Tiba-tiba Mao-toa-sianseng tertawa tergelak, gelak tertawanya itu sama anehnya seperti pancaran sinar matanya, pada saat ia mulai tertawa itulah pedangnya telah ditusuk ke depan, menusuk ke muka melewati sisi tengkuk A-kit dan menusuk bahu Ciu Ji sianseng.

"Triiiing....!, pedang yang berada dalam genggaman Ciu Ji Sianseng terjatuh ke tanah, darah kental berhamburan kemana-mana dan memercik di atas wajahnya sendiri.

Sword Master aka Pedang Tuan Muda Ketiga/Pendekar Gelandangan - Khu LungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang