Bab 33. Tindakan yang Terencana

872 17 0
                                    

Seorang anak lelaki, jika selamanya tak tahu siapakah gerangan ayahnya sendiri, bukan saja dia pasti akan menderita sepanjang hidupnya, ibunya juga sama saja akan turut menderita.

"Oleh sebab itu kaupun selama ini tak pernah memberitahukan kepadanya, bahwa kau adalah ibu kandungnya?", sambung Cia Siau-hong.

"Ya, tak pernah!", Buyung Ciu-ti mengakuinya.

Dengan wajah yang memancarkan sinar penderitaan, ia melanjutkan:

"Tapi sekarang usiaku lambat laun kian bertambah besar, apa yang ingin kudapatkan sebagian besar telah berhasil kudapatkan, sekarang aku hanya ingin mempunyai seorang putra, seorang putra macam dia!"

"Apakah kau telah bertekad untuk menceritakan semua kejadian yang ada kepadanya?"

"Bahkan aku akan memberitahukan kepadanya bahwa kau sama sekali tidak bersalah, yang salah adalah aku!"

Cia Siau-hong tak dapat percaya, diapun tak berani percaya.

Tak tahan lagi dia bertanya:

"Kalau toh kau telah mengambil keputusan untuk berbuat demikian, kenapa pula musti kau tunggu sampai aku berhasil mengalahkan Yan Cap-sa baru memberitahukan kepadanya?"

"Sebab jika kau tidak berhasil menang, berarti kau harus mati!"

Cia Siau-hong tak bisa menyangkal kebenaran dari perkataan itu.

Yang ada hanya Cia Siau-hong yang mati di medan laga, tak mungkin ada Cia Siau-hong yang kalah dalam pertempuran.

Buyung Ciu-ti berkata lebih jauh:

"Seandainya kau tewas di ujung pedang Yan Cap-sa, buat apa kau musti memberitahukan kepadanya bahwa dia mempunyai seorang ayah macam kau? Buat apa aku musti menambah kemurungan, penderitaan dan kesengsaraannya....?"

Kemudian dengan sepatah kata demi sepatah kata, ia menambahkan:

"Buat apa pula aku membicarakan dia pergi menghantar kematiannya dengan percuma?"

"Menghantar kematiannya?"

"Seandainya dia tahu kalau ayah kandungnya telah tewas di ujung pedang Yan Cap-sa, tentu saja dia akan pergi membalas dendam, dengan kepandaian silatnya, mana mungkin ia bisa menandingi kelihaian Yan Cap-sa? Kalau bukan pergi menghantar kematiannya apa pula namanya?"

Cia Siau-hong terbungkam dalam seribu bahasa.

Ia tak bisa tidak harus mengakui bahwa perkataannya memang sangat masuk di akal, tentu saja diapun tidak mengharapkan putranya pergi menghantar kematian secara sia-sia.

Sekali lagi Buyung Ciu-ti tertawa dengan lembut, katanya lagi:

"Tapi aku percaya tentu saja kau tak akan menderita kekalahan, semestinya kau sendiripun sudah mempunyai keyakinan yang tebal"

Cia Siau-hong termenung tanpa bicara. Lewat lama sekali, pelan-pelan ia baru berkata:

"Kali ini aku tidak mempunyai keyakinan!"

Buyung Ciu-ti seakan-akan merasa kaget bercampur tercengang oleh jawaban tersebut, serunya tertahan:

"Masakah kau sendiripun tak mampu mematahkan Toh-mia-cap-sa-kiam nya itu?"

"Toh-mia-cap-sa-kiam itu sendiri tidak terlalu menakutkan, justru yang menakutkan berada pada jurus yang ke empat belas"

"Aaahh...., darimana datangnya jurus yang ke empat belas?"

"Yang pasti jurus ke empat belas itu ada!"

"Maksudmu kecuali tiga belas jurus ilmu pedang perenggut nyawanya, masih terdapat pula perubahan yang ke empat belas?"

Sword Master aka Pedang Tuan Muda Ketiga/Pendekar Gelandangan - Khu LungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang