Bab 23. Darah Mengalir di Hong-ki-piaukiok

738 16 1
                                    

Senja menjelang tiba, hujan telah lama berhenti.

Sang surya memancarkan sinar sorenya dengan sebuah bianglala yang indah tergantung di kaki langit, selewatnya hujan badai, suasana waktu itu tampak indah dan penuh ketenangan.

Konon, menurut orang tua, bila bianglala muncul di langit, itu pertanda datangnya kedamaian dan kebahagiaan bagi umat manusia.

Tapi, kenapa sinar senja tetap berwarna merah?

ooo)O(ooo

Panji Hong-ki-piaukiok pun tetap berwarna merah.

Tiga belas lembar panji di atas tiga belas kereta barang.

Rombongan itu berhenti tepat di halaman belakang sebuah rumah penginapan.

Berdiri di bawah wuwungan rumah yang masih meneteskan air, Thi Kay-seng memperhatikan panji di atas kereta-kereta itu, tiba-tiba serunya dengan lantang:

"Lepaskan semua panji-panji itu!"

Para piausu masih sangsi, ternyata tak seorangpun berani melaksanakan perintah tersebut.

Dengan suara lantang Thi Kay-seng kembali berkata:

"Jika ada orang yang menghancurkan selembar panji kita, itu sama artinya beribu-ribu dan berlaksa panji kita telah hancur musnah semua sebelum dendam ini di balas, sebelum penghinaan ini dicuci, dalam dunia persilatan tak akan dijumpai lagi panji-panji dari perusahaan kita!"

Paras mukanya masih tanpa emosi, tapi suaranya begitu tegas dan penuh kebulatan tekad.

Apa yang ia perintahkan masih tetap merupakan suatu perintah.

Tiga belas orang segera maju ke depan, tiga belas buah tangan bersama-sama mencabut panji perusahaan tersebut, tiba-tiba ke tiga belas buah tangan itu berhenti di tengah udara, tiga belas pasang mata bersama-sama telah menyaksikan seseorang.

Itulah seorang manusia yang jauh berbeda dari orang lain, di saat kau tidak membiarkan ia pergi, ia justru pergi, tapi di kala kau tak menyangka dia akan kembali, ia justru telah kembali.

Rambut orang itu sudah amat kusut, pakaiannya yang basah oleh hujan masih belum mengering, ia tampak amat lelah dan keadaannya mengenaskan sekali.

Akan tetapi tiada orang yang memperhatikan rambut serta pakaiannya, tiada orang pula yang merasakan keletihan dan keadaan mengenaskan yang mencekam dirinya, karena orang itu tak lain adalah Cia Siau-hong.

Thi Gi sesungguhnya adalah seorang pemuda yang tinggi kekar, alis matanya tebal, matanya besar, ia merupakan seorang anak muda yang gagah dan perkasa.

Tapi setelah berdiri di belakang orang itu, keadaannya segera berubah ibaratnya seekor kunang-kunang dengan sebuah rembulan, seperti sebuah lilin di bawah sinar sang surya.

Karena orang itu tak lain adalah Cia Siau-hong.

Thi Kay-seng melihat ia berjalan masuk, melihat ia berjalan ke hadapannya, lalu menyapa:

"Kau telah datang kembali!"

"Sepantasnya kau bisa menduga bahwa aku pasti akan datang lagi!", jawab Cia Siau-hong.

"Karena kau pasti sudah mendengar banyak cerita?", tanya Thi Kay-seng kemudian.

"Benar!"

"Dalam telapak tanganmu tiada pedang!"

"Benar!"

"Pedang itu masih berada dalam hatimu?"

"Apakah dalam hatiku ada pedang atau tidak, paling tidak seharusnya kau dapat melihatnya sendiri"

Sword Master aka Pedang Tuan Muda Ketiga/Pendekar Gelandangan - Khu LungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang