Bab 31. Takdir

689 14 2
                                    

Sampan dari kakek itu sudah tak nampak dari pandangan mata.
Air yang mengalir terasa biru kelam, malam yang pekat pun diliputi warna biru yang gelap.
Akhirnya Cia Siau-hong berjalan menelusuri jalan setapak yang telah tertutup oleh rumput ilalang itu dan berjalan terus ke depan.
Apapun sudah tidak dipikirkan lagi olehnya, dia hanya ingin cepat-cepat tiba di rumah makan di luar hutan pohon waru, ingin cepat-cepat melihat bulan purnama muncul di awang-awang.
Manusia macam apakah yang akan menantinya di luar hutan pohon waru di bawah sinar bulan purnama itu?
Apakah ia dapat memperoleh sedikit kemujuran yang dibutuhkan? Serta sebilah pedang yang cepat itu?
Ia tidak mempunyai keyakinan.
Sekalipun dia adalah Cia Siau-hong yang tiada keduanya di dunia ini, ia sama juga tak punya keyakinan.
Secara lamat-lamat ia sudah mulai merasakan, siapa sesungguhnya orang itu.
Hanya macan tutul yang bisa melacaki jejak dari seekor macan tutul yang lain.
Hanya macan tutul yang dapat merasakan tempat persembunyian macan tutul yang lain.
Karena mereka adalah serumpun, sejenis!

Kecuali mereka, di dunia ini tak ada binatang buas lainnya yang dapat melalap mereka.

Di dunia ini tidak terdapat pula binatang buas macam apapun yang berani mendekati mereka, bahkan kelinci yang gesit dan rase sekalipun.

Oleh karena itu, mereka seringkali merasa kesepian.

ooo)O(ooo

"Selama hidupku di dunia ini, berapa banyak teman yang kumiliki? Berapa banyak pula teman perempuan yang kupunyai?", Cia Siau-hong sedang bertanya kepada diri sendiri.

Tentu saja dia pernah mempunyai teman, juga punya perempuan.

Tapi berapa orang temankah yang selalu setia kepadanya? Berapa orang perempuan yang benar-benar menjadi miliknya?

Ia teringat kembali akan diri Thi Kay-seng, teringat Kian Po-sia, teringat Lo Biau-cu.

Diapun teringat si Boneka dan Buyung Ciu-ti.

Adakah orang lain yang berbuat salah kepadanya? Ataukah ia yang telah berbuat kesalahan terhadap orang lain?

Ia tak berani berpikir lagi.

Hatinya begitu sakit sehingga air pahitpun meleleh keluar dari mulutnya.

Kembali ia bertanya kepada diri sendiri:

"Selama hidupku ini berapa banyak pula musuh besar yang kumiliki?"

Jawabnya kali ini ternyata jauh lebih meyakinkan lagi.

Ada orang takut kepadanya, hampir tidak berdasarkan alasan lain, mereka takut karena dia adalah Cia Siau-hong.

Orang yang membencinya juga tidak sedikit, tapi selamanya dia tak pernah ambil perduli.

Mungkin dia hanya memperdulikan seseorang.

Orang ini selamanya menciptakan sesosok bayangan kabur yang tak pernah membuyar dalam hatinya.

Ia selalu berharap bisa berjumpa dengan orang ini, orang itupun pasti berharap pula dapat berjumpa dengannya.

Ia tahu cepat atau lambat, suatu hari mereka pasti dapat saling berjumpa muka.

Bila di dunia ini telah muncul seorang Cia Siau-hong dan seorang Yan Cap-sa, maka cepat atau lambat, mereka pasti akan saling berjumpa muka.

Jika mereka telah bertemu, maka darah dari tubuh seorang di antaranya pasti akan menodai pula ujung pedang seorang yang lain.

Inilah takdir untuk mereka berdua.

Agaknya hari seperti itu sudah kian mendekati dirinya.

ooo)O(ooo

Sword Master aka Pedang Tuan Muda Ketiga/Pendekar Gelandangan - Khu LungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang