Bab 20. Pemberani Tak Akan Jeri

764 16 0
                                    

Siau Te telah berlalu pergi.
Ketika ia mengatakan hendak kabur, ia betul-betul telah kabur dengan cepat, menunggu si ciangkwe gendut berpaling kembali, bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas.
Dalam keadaan begini, ciangkwe gemuk itu tak bisa berbuat lain kecuali tertawa getir.
Dia bukannya tidak tahu cara tersebut, dulu pernah ada orang yang melakukan cara yang sama, dan kemudian haripun pasti masih ada orang yang akan menggunakan cara tersebut.
Sebab cara itu memang paling manjur untuk dipergunakan makan gratis.
Tengah hari di sebuah jalan raya yang amat panjang.
Dengan menyelusuri bayangan gelap di bawah wuwungan rumah, Siau Te berjalan menuju ke depan.
Setelah melepaskan diri dari kuntitan Cia Siau-hong, sesungguhnya adalah suatu peristiwa yang patut digembirakan, tapi ia sama sekali tidak berperasaan demikian.
Dia hanya ingin lari ke tana lapang yang luas dan berteriak-teriak seorang diri, diapun ingin lari ke puncak bukit yang tinggi dan menangis sepuas-puasnya.

Mungkin hanya dia seorang yang tahu kenapa ia dapat berpikir demikian, bahkan mungkin dia sendiripun tak tahu.

Dapatkah Cia Siau-hong melayani tiga orang anak jadah cilik yang sepasang matanya hanya berada di atas kepala?

Siapa menang siapa kalah, apa pula sangkut pautnya dengan diriku? Sekalipun mampus semua, hanya bapak dan emak mereka yang akan menangisi kematiannya, tapi kalau aku mati, siapa pula yang akan meneteskan air mata bagiku?

Tiba-tiba Siau Te tertawa, tertawa terbahak-bahak.

Semua orang di jalanan berpaling ke arahnya, memandangnya dengan terperanjat, mereka menganggapnya sebagai orang gila.

Tapi ia sendiri sedikitpun tidak ambil perduli, orang lain mau menganggap dirinya sebagai manusia macam apapun, dia tak akan ambil perduli.

ooo)O(ooo

Sebuah kereta besar berjalan lewat dari tikungan jalan raya sebelah depan sana, kereta itu dihela oleh dua ekor kuda. Badan keretanya masih baru dan berwarna hitam, masih mengkilap seperti sebuah cermin. Sebuah panji kecil berwarna merah tersembul di antara daun jendelanya.

Sang kusir yang mengenakan ikat pinggang berwarna merah duduk di tempatnya dengan angkuh dan jumawa, cambuknya di ayunkan berulang kali, gayanya sok benar.

Tiba-tiba Siau Te menerjang ke depan menghadang di depan kuda, karena kemunculan yang tiba-tiba itu, sang kuda segera meringkik panjang dan mengangkat ke dua belah kakinya ke atas.

Tentu saja kusirnya mencaci maki penuh kegusaran, sambil mengayunkan cambuknya ia berteriak:

"Hei, bajingan cilik! Kau ingin mampus?"

Siau Te masih belum ingin mampus, iapun tak ingin dimakan cambuk, maka tangan kirinya segera menahan gagang cambuk tersebut, kontan sang kusir terjengkang ke tanah dan keretapun berhenti.

Dari balik jendela kereta muncul sebuah kepala manusia, itulah wajah yang garang dengan rambut yang tersisir rapi dan sepasang mata yang buas penuh keseraman.

Siau Te maju menghampirinya, setelah menarik napas panjang-panjang ia bergumam:

"Ehmm.....rambut yang indah, harum....semerbak.....seperti bunga melati!"

"Mau apa kau, kunyuk kecil?", bentak orang itu sambil melotot gusar ke arahnya.

"Aku mau mati!"

"Heehhh..... heeehhh... heehhhh... itu mah gampang!", kembali orang itu berseru setelah tertawa dingin.

Siau Te tersenyum.

"Aku memang tahu bahwa aku sudah mencari tempat yang benar, menemukan orang yang benar"

Kemudian ditatapnya sekejap sepasang tangan laki-laki kekar itu beserta otot hijau yang menonjol keluar serta jari tangan yang besar lagi kasar.

Hanya manusia bertenaga gwakang yang sudah berpengalaman dalam melangsungkan pertarungan baru memiliki sepasang tangan semacam ini.

Sword Master aka Pedang Tuan Muda Ketiga/Pendekar Gelandangan - Khu LungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang