SM-8

1.1K 120 1
                                    

"Lo lagi, lo lagi. Gak bosen apa hidup lo yang gak berguna itu makin gak berguna, emang lo gak ada kerjaan lain selain kasih melati ini?" Bentak Prilly.

Kejadian itu bagaikan de javu, hanya karena topik setangkai melati Ali dan Prilly akan berbicara ralat Prilly membentak dan Ali hanya diam meratapi nasibnya yang kurang beruntung.

Prilly meremas setangkai melati itu hingga menjadi patah terbelah lalu mencampakkannya ke dalam tong sampah.

"Gue harap ini terakhir kalinya lo ngasih sampah di dalam tas gue," Prilly menendang meja Ali hingga membuat sang empu terlonjak kaget.

"Gue minta maaf," ujar Ali lirih.

"Gue gak butuh maaf dari lo," geram Prilly.

"Gue gak mau berharap lebih, gue cuman berharap kesalah pahaman di masa lalu bisa membuat hati lo seputih melati ini." Ali mengeluarkan setangkai melati putih yang tampak agak layu.

"Dengan beribu melati pun, kesalahan lo yang dulu tetap pernah menjadi belati tajam yang menyayat hati gue."

Prilly tak ingin hatinya dilema hanya karena ucapan Ali barusan, ia memilih pergi meninggalkan Ali yang duduk dengan tatapan hampa sambil memegang setangkai melati putih.

"Vin, apa yang gue lakuin dulu salah banget ya?" Tanya Ali dengan sorot mata sendu.

Ali menghapus pelan air matanya, "itu cuman masa lalu."

"Gue selalu berharap dia bisa maafin gue, mungkin kalo Tuhan nyuruh gue buat minta suatu permintaan, gue cuma pengen Prilly maafin gue." Mata Ali semakin memerah, ia tak pernah selemah ini.

Bahkan saat dirinya dijauhi oleh semua orang, Ali tak pernah selemah ini, tapi hanya karena seorang ratu dihatinya membenci dirinya, ia menjadi sangat lemah dan rapuh.

"Ini kayak bukan lo," ujar Kevin jujur.

"Gue gak mau jadi Ali yang dulu, Ali yang menjadi seorang pembunuh," jawab Ali.

"Lo bukan pembunuh," sergah Kevin.

Seputih Melati

"Mungkin ini saatnya, Pril." Jessica mengelus pelan bahu Prilly.

"Lo gak ngerti perasaan gue dan selamanya akan begitu," Prilly memalingkan wajahnya.

Dadanya bergemuruh, apakah hari ini akan menjadi akhir kebenciannya?

Tidak, gue gak boleh dilema. Dia itu salah dan tetap salah selamanya. Prilly menggeleng mencoba menarik kesimpulan dari dua kemungkinan.

Kemungkinan yang pertama adalah Prilly akan memaafkan, melupakan, dan membuka lembaran baru terhadap kesalahan di masa lalu.

Kemungkinan kedua adalah Prilly akan selalu membuat Ali sengsara dengan rasa bersalah.

----------------------------------------------------------------------

"Prilly masih belum rela tentang kepergian dia," jelas Dahlia jujur.

"Gue juga gak ngerti, apa sih yang ada di otaknya? Orang yang udah lama gak ada aja masih diingat-ingat." Michelle memutar bola matanya malas.

Dahlia berdiri lalu menggebrak meja, "tutup mulut busuk lo itu. Karena lo gak laku jadi gak pernah ngerasa apa yang dirasain Prilly saat ini."

"Udah, Ia. Kita ngomongin secara baik-baik jangan pake emosi," ujar Jessica menenangkan Dahlia sambil menarik Dahlia duduk kembali pada tempatnya.

"Gue gak bakal emosi kalo si Jutek yang gak laku itu gak ngeremehin kepergiaan dia," balas Dahlia ketus.

"Tutup mulut lo itu sebelum gue sodok pake sepatu," Michelle menatap Dahlia dingin.

"Emang kenyataannya lo itu gak laku." Dahlia menekan kata gak laku.

"Apa bedanya sama lo?" Michelle tersenyum remeh, hal itu membuat Dahlia menggertakkan giginya kesal.

Ali hanya menatap jenuh perdebatan ketiga gadis di hadapannya.

"Kalo kalian disini cuman buat berantem lebih baik bubar deh." Ali menatap tajam satu-persatu dari mereka.

"Dia tuh yang mulai," jari telunjuk Dahlia menunjuk wajah Michelle.

"Turunin jari lo sebelum gue patahin tulang lo satu-persatu." Michelle menggeser bangku di sampingnya.

"Gak usah nyolot dong lo," balas Dahlia menurunkan jari telunjuknya.

"Gue gak bakal nyolot kalo mulut lo itu mingkem." Michelle merapatkan kedua mulutnya mencontohkan cara mengatupkan bibir yang baik dan benar.

"Gue gak bakal mingkem sebelum lo akuin kalo lo itu gak laku." Dahlia tertawa meremehkan Michelle.

Michelle yang merasa harga dirinya telah diinjak-injal oleh Dahlia, tidak terima atas sikap Dahlia yang terang-terangan menghinanya.

Michelle memilih diam saat melihat Ali menatapnya tajam.

"Jangan diladenin," ucap Ali tak bersuara, Michelle mengangguk mengiyakan.

"Jadi gimana?" Tanya Ali.

"Prilly itu sebenarnya suka sama lo hanya karena perasaan belum ikhlas dengan kepergiannya, Prilly menyimpan dendam. Tapi gue yakin bahkan amat sangat yakin kalo Prilly cinta sama lo."

"Jujur, gue bingung dengan semua ini. Prilly terlalu pandai menutupi perasaannya hingga gue gak bisa liat jelas kalo dia cinta sama gue," lengkungan kecil terukir manis di bibir Ali.

"Itu karena keegoisan dan gengsi bahkan gue tau lo juga cinta sama dia," ujar Dahlia frontal membuat Ali salah tingkah.

"Ayolah, Li. Kita ini pernah jadi sahabat, gue tau semua isi hati lo. Karena gue yakin diantara kalian satu sama lain punya kontak batin yang kuat."

Ali hanya terdiam mendengar penuturan Dahlia. Bagaimana pun caranya mengelaknya, Dahlia pernah menjadi sahabat Ali. Namun takdir berkata lain, saat musibah naas menimpa mereka semua, dalam sekejap mata persahabatan mereka hancur seperti hati Ali saat ini.

"Tapi itu dulu sebelum musibah naas terjadi," Ali tersenyum kecut.

"Gue gak tau. Gue masih bingung sebenarnya, menurut hasil pengamatan gue di TKP lo itu menjadi tersangka, Li. Dari situ kepercayaan yang gue bangun buat lo nguap gitu aja." Dahlia mengungkapkan seluruh kegundahannya selama ini.

"Otak lo terlalu pendek. Gara-gara satu kesalah pahaman yang belum jelas kebenarannya, lo dengan gampang menyimpulkan sesuatu. Karena kependekan otak kalian itu ngebuat hubungan persahabatan kalian hancur. Bukan karena musibah itu." Dahlia terdiam mencerna kata-kata pedas Michelle.

"Dan gue terlalu pintar untuk mengetahui bahwa Ali butuh sosok sahabat baru saat sahabat lamanya pergi meninggalkan dia gitu aja."
.
.
.
.
.
Tbc..!
Please vote⭐️ and comment📨

Seputih Melati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang