"Kalo jalan liat-liat dong," geram Prilly kesal memungut barang belanjaannya yang terjatuh.
"Lo—" Prilly mendongak melihat siapa yang menabrak dirinya.
Prilly seperti tidak asing dengan wajah dihadapannya, "Dinda?"
"Dari mana lo tau nama gue?" Tanya gadis yang Prilly tebak bernama Dinda.
"Lo yang waktu itu ketemu gue di jalan pas hujan kan?" Tanya Prilly memastikan.
"Uhm, lo," Dinda mencoba mengingat-ingat Prilly yang sepertinya tidak asing.
"Oh, lo yang pas hujan nangis dengan pemikiran cetek buat kamuflase ya? Piring? Eh, Pring? Pokoknya ada Pri-Pri gitu." Dinda tampak kesulitan mengucapkan ejaan nama Prilly.
"Prilly," koreksi Prilly.
"Iya, itu maksud gue. Prilly," ralat Dinda cepat.
"Gak nyangka bisa ketemu lo lagi," ujar Prilly diiringi tawa oleh Dinda.
"Iya, ngomong-ngomong lo sendirian? Atau sama temen yang lagi ke toilet?" Tanya Dinda celingak-celinguk mencari keberadaan pengikut Prilly.
"Lagi pengen sendiri," jawab Prilly tersenyum hambar.
"Mending kita bareng, lagian gue juga sendirian," tawar Dinda.
"Boleh juga, yuk, keburu sore entar," ajak Prilly.
Kini, Prilly dan Dinda duduk di salah satu kafe di dalam kawasan mall. Kafe dengan dinding dan lantai yang bercorak kayu kilat menambah kesan elegannya. Untuk anak muda era-2000 mungkin kafe ini cocok dijadikan tempat para pasangan untuk berduaan, keadaan yang sunyi dan sepi menambah kesan nyaman tersendiri.
"Ngomong-ngomong nih, lo itu anak sekolahan atau mahasiswi?" Tanya Prilly penasaran.
"Kebetulan gue masih SMA," jawab Dinda.
"Oh," Prilly mengangguk kepalanya mengerti.
"Lo sendiri? Anak sekolahan?" Dinda melempar pertanyaan yang serupa kepada Prilly.
Prilly hanya mengangguk tanpa berniat membalas pertanyaan Dinda.
"Gimana kalo kita tukeran nomor biar bisa saling contact-contact-an," usul Prilly membentuk jari tangannya seperti ponsel sambil mendekatkan ke telinga.
"Boleh juga tuh," Dinda memberi tahu digit-digit nomor ponselnya pada Prilly.
"Oke, entar kalo gue misscall, nomor gue disimpen ya," pesan Prilly.
"Gampang itu mah," jawab Dinda terkekeh.
Seputih Melati
"Asya, gue minta maaf ya. Gue belum bisa ngabulin permintaan terakhir lo buat jagain Prilly. Tapi, gue udah berusaha meski belum berhasil, semuanya akan indah pada waktunya bukan?"
Ali hanya bisa berharap kelak dirinya bisa menjaga Prilly. Ali tidak bisa mengelak lebih banyak lagi tentang keinginannya untuk memiliki Prilly sepenuh hati. Sekali pun, mulutnya mengatakan hal yang berbanding terbalik dengan hatinya, percayalah bahwa masih ada mata yang memancarkan segala kejujuran.
"Andai waktu itu gue gak nekad, gak gegabah, mungkin lo sekarang masih di samping kita. Dan jika harapan gue terjadi, pasti gue masih bisa jagain Prilly meski lo tetap pahlawan nomer satu dihatinya. Gue bingung, Sya. Gue tiap hari selalu dihantui sama rasa bersalah, gue capek, gue capek tiap hari selalu disalahin. Andai, Prilly beri gue kesempatan mungkin gue bisa perbaiki hubungan ini. Tapi itu cuman mimpi yang gak akan terkabul."
Ali memejamkan matanya mencoba menghapus sedikit demi sedikit memori belakangan ini yang selalu membuatnya dihantui rasa bersalah teramat mendalam.
Ponsel Ali berdering nyaring, nama Kevin tertera di layar ponselnya. Ali awalnya memilih mengabaikan dan membiarkan ponsel itu tetap berdering. Sekali, dua kali, tiga kali, Kevin sama sekali tidak menyerah menghubungi Ali hanya untuk menanyakan kabar.
"Gue hapal banget sama lo, ponsel bunyi tapi didiemin, dasar," cibir Kevin kesal, saat deringan ke-empat pada ponsel Ali, Ali baru memilih untuk mengangkat panggilan Kevin.
"Baru aja kita pisah, belum satu kali dua puluh empat jam. Tapi, lo hebohnya gak ketulungan berasa gue bocah lima tahun yang bisa diculik." Kevin hanya tertawa mendengar semprotan kekesalan Ali untuknya.
"Jadi lo kapan balik, Li?" Tanya Kevin.
Ali hanya menghela napas pelan, "baru aja gue nyampe, kebelet pengen gue pulang?"
Terdengar suara kekehan di seberang sana. "Gue cuma memastikan kalo lo bakal balik lagi," jawab Kevin.
"Mending lo urusin Mila lo itu," ujar Ali sebal.
"Dia udah beberapa hari belakangan sibuk kayak hindarin gue gitu," jawab Kevin lesu.
Masih aja gak peka nih cowok, pikir Ali. Ali mengetahui kedatangan Silla yang membuat kehadiran Jessica dinomor duakan.
"Dasar cowok," celetuk Ali.
"Emangnya lo bukan cowok? Terus apaan dong? Lekong? Atau waria?" Tanya Kevin polos.
"Serah lo, Vin," gerutu Ali sebal.
Seputih Melati
"Aku merasa kamu kayak hindarin aku gitu?" Ujar Kevin pelan.
"Ah, masa sih. Perasaan kamu aja," jawab Jessica tersenyum kaku.
"Aku ada salah sama kamu? Kalo aku salah bilang dong, jangan hindarin aku kayak gini. Aku minta maaf." Kevin memasang muka memelasnya.
"Iya." Sebenarnya, Jessica sudah terlanjur kesal dengan Kevin yang sama sekali tidak peka perasaannya. Namun, ucapan Kevin barusan ada benarnya.
"Cuman, iya?" Tanya Kevin terbengong dengan jawaban Jessica.
"Terus? Aku mesti gimana? Jingkrak-jingkrak sama nari-nari gak jelas sambil bilang wow, gitu?" Memaafkan kesalahan yang lalu tidak ada salahnya bukan?
"Ya, paling enggak responnya gak se-cuek itu." Kevin mengacak rambutnya frustasi.
"Iya, kamu gak salah, maaf karena aku udah nyuekin kamu belakangan ini." Jessica tetap bersikukuh tidak ingin menceritakan kenapa sikapnya belakangan ini kepada Kevin. Jessica hanya takut Kevin akan sedikit risih dengan sikap Jessica yang terlalu posesif dan manja.
"Maaf juga kalo aku ada salah," ujar Kevin lirih.
"Udah-udah, kok kita jadi maaf-maafan kayak mau hari raya aja," Jessica berusaha mencairkan suasana yang sedikit canggung.
Kevin hanya tersenyum. Maaf Mil, kedatangan Silla membuat aku dilema.
Dahulu, Kevin sempat menyimpan perasaan kepada Silla, namun kepergian Silla yang mendadak membuat Kevin harus menelan pahitnya kehilangan seseorang yang ia cintai dan berusaha mengubur cinta itu demi membuka hati untuk gadis lain yang memikat hatinya.
.
.
.
.
.
Tbc..!
Please vote⭐️ and comment📨

KAMU SEDANG MEMBACA
Seputih Melati
Fiksi Penggemar[Completed] "Gue gak mau berharap lebih, gue cuman berharap kesalah pahaman di masa lalu bisa membuat hati lo seputih melati ini." "Dengan beribu melati pun, kesalahan lo yang dulu tetap pernah menjadi belati tajam yang menyayat hati gue." Kesalah...