Pasti Ali yang disalahin, batin Prilly tertawa akan kemenangannya.
"Lo napa Pril?" Tanya Dahlia yang merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan gelagat aneh Prilly.
"Lah emangnya gue kenapa?" Bukannya menjawab Prilly malah bertanya balik.
"Dari tadi lo senyam senyum mirip orang kesambet," balas Dahlia.
"Lo gak seneng banget sih liat sahabat lo lagi seneng," ujar Prilly.
"Emangnya lo seneng gegara apa? Perasaan lo semalam kagak bahagia-bahagia amet," ucap Dahlia.
"Karena gue berhasil memisahkan sesuatu yang gak pantes buat bersatu," jawab Prilly tersenyum ringan.
Dahlia tak mengerti maksud pembicaraan Prilly, "sesuatu yang gak pantes buat bersatu?"
"Lia, Illy," pekik Jessica.
Pandangan Dahlia yang tadinya menuntut Prilly menjelaskan maksud dari ucapannya kini terfokus pada Jessica.
"Jess," Dahlia menghampiri Jessica yang berdiri di ambang pintu.
"Lo kenapa nangis? Siapa yang buat lo jadi kacau gini?" Tanya Dahlia membuat tangisan Jessica yang tadinya mereda menjadi lebih keras.
"Gu..gue gak..gak..papa," isak Jessica, Dahlia menuntun Jessica menuju bangku terdekat.
"Lo minum dulu, entar kalo uda reda baru cerita," usul Dahlia.
Bahkan disaat lo gini, dia aja gak berusaha buat jelasin ke lo. Berarti gue gak nerima dosa atas rencana memisahkan hubungan kalian, Prilly tersenyum sinis.
"Udahlah cowok kayak gitu gak perlu ditangisin," celetuk Prilly.
"Dari mana lo tau dia tangisin Kevin?" Tanya Dahlia membuat Prilly tergagap.
"Apa ada lagi alasan yang buat Jessica nangis selain Kavan?" Prilly tersenyum remeh.
"Apa bener Jess dia yang buat lo nangis?" Tanya Dahlia memastikan.
Jessica terdiam, "gue yang terlalu berharap sama dia."
"Bahkan setelah dia buat lo nangis konyol demi dia, lo masih berusaha ngebela dia di depan kita? Yang benar aja, Jess. Kita ini bukan temen baru yang baru kenal lo, kita udah cukup lama berteman sampe tau apa alasan lo nangis konyol."
"Dia..dia pelukan di depan gue..dan di..dia juga bilang ka..kalo dia lup..pa sama keberadaan gue," tangisan Jessica pecah seketika.
"Dan lo dengan bodohnya masih menyaksikan adegan menyakitkan itu?" Tanya Prilly.
Dahlia menyenggol lengan Prilly, "ucapan lo jangan terlalu frontal," bisik Dahlia.
Prilly seperti menulikan telinganya tak mendengar apa yang dikatakan Dahlia padanya. "Kelompok pembunuh itu selalu matahin mimpi siapa pun," Prilly menerawang kembali ke masa dimana dia masih bisa berangan.
"Gue rindu sama dia dan akan selalu begitu," lirih Prilly.
"Kita juga rindu sama dia, raga dia emang gak berada di deket kita tapi hati dia selalu menyertai kita," ujar Dahlia membuat Prilly tertegun.
"Gue rindu bahu dia, gue rindu senyum dia, gue rindu omelan dia, gue rindu semua yang ada di dirinya," mata Prilly memerah.
Jika kita ditakdirkan untuk bertemu, kenapa kita juga harus ditakdirkan untuk berpisah? Jika rasa berpisah darimu sesakit ini, kenapa kita harus bertemu? Bukankah lebih baik agar kita tak saling mengenal, jika tau rasa perpisahan sepahit ini?
"Kadang tanpa lo sadari ada seseorang di masa lalu mengejar lo hanya demi kata maaf, tapi lo tetap bersikukuh pada pendirian lo yang selalu menyudutkan dia sebagai pelaku kejadian pahit itu," luka lama yang telah sedikit terobati kini ternganga kembali menimbulkan bekas baru.
"Disaat lo kehilangan dia, maka lo baru akan merasakan betapa pentingnya dirinya buat lo." Inilah yang Prilly takuti kelemahannya muncul kembali, dimana dia terpengaruh akan ceramahan Dahlia.
"Gue gak pernah merasa dia penting dalam hidup gue dan gak akan pernah," jawab Prilly angkuh.
"Lo terlalu sombong dan gengsi buat ngakuin perasaan lo." Jessica tertidur dalam lipatan tangannya.
"Dengan lo membela dia dihadapan gue, itu yang ngebuat gue makin benci sama dia."
"Kadang hati dan mulut lo gak sinkron. Ibarat kata lo main piano sambil nyanyi, lo pengen mainin lagu Rasa Ini tapi mulut lo mengeluarkan nada lagu Kau Berubah."
"Lo itu bukan Tuhan yang bisa tau semua isi hati gue, jadi stop omong kosong seakan-akan lo tau semua isi hati gue," Prilly menggertakkan giginya kesal.
"Bahkan Tuhan belom tentu ngerti isi hati gue," sambung Prilly.
"Gue emang bukan Tuhan atau cenayang yang bisa tau isi hati dan pikiran lo, tapi gue tau bahwa kenyataannya lo takut buat kehilangan dia."
"Gue gak pernah takut buat kehilangan dia bahkan gue selalu berharap agar dia gak muncul lagi di hadapan gue," ujar Prilly enteng.
Mungkin pengibaratan Dahlia cukup logis, "dan saat harapan lo itu terkabul maka itu semua udah terlambat."
"Dan setiap harinya pula gue selalu berdoa agar harapan itu terkabul." Bukan kata 'dan' lagi yang bisa mengutarakan isi hati Prilly melainkan kata 'tetapi'.
"Lo terlalu munafik buat ngakuin bahwa lo selalu membutuhkan sosok dia, lo terlalu egois terhadap janji lo dengan orang yang udah meninggal."
"Stop..!" Teriak Prilly.
"Dia belom mati, lo sendiri yang bilang kalo hati dia masih bersama kita, lo sendiri yang bilang. Dia belom mati, dia belom mati. Lo ngerti gak sih kalo dia belom mati? Tutup mulut busuk lo, dia belom mati." Prilly meracau tak jelas, tubuhnya lunglai. Air mata yang sedari tadi sudah tersimpan kembali ke dalam habitatnya kini mengucur lebih deras lagi.
"Dia belom mati, dia belom mati." Prilly terisak mengeluarkan segala kepedihan yang dari tadi di pendamnya.
"Dia masih di dalam hati gue, dia belom mati. Kenapa kamu gak jelasin ke orang-orang sih, kalo sebenarnya kamu itu masih hidup tapi kamu bersembunyi?!" Kini Prilly sudah persis seperti orang yang kehilangan akalnya.
.
.
.
.
.
Tbc..!
Please vote⭐️ and comment📨
KAMU SEDANG MEMBACA
Seputih Melati
Fanfiction[Completed] "Gue gak mau berharap lebih, gue cuman berharap kesalah pahaman di masa lalu bisa membuat hati lo seputih melati ini." "Dengan beribu melati pun, kesalahan lo yang dulu tetap pernah menjadi belati tajam yang menyayat hati gue." Kesalah...