Senyum karyawan-karyawanku mengiringi langkahku ketika aku memasuki toko tas miliku ini. Senyum terpaksa. Mereka pikir aku tidak tau kalau mereka selalu merasa terintimidasi dengan keberadaan ku? Yang benar saja. Tapi memang seharusnya sudah seperti itu.
"Maria, laporan pemasukan bulan lalu udah kamu rekap?" tanyaku pada salah seorang karyawati ku. Maria, gadis muda berambut keriting, menatapku dengan takut-takut.
"Mmm... sudah, Bu. I..ini mau saya taruh di meja Ibu." katanya. Aku mengangguk lalu berlalu menuju ruanganku.
Ruanganku tidak besar. Hanya seluas 3x4m saja. Namun, aku menyukai ruangan ini. Di dalam sini aku bisa menjadi diriku sendiri. Aku bisa menggoreskan rasa kesal dan marah ku terhadap suamiku "tercinta" dalam secarik kertas dan mengubahnya menjadi desain tas. Aku akan membuktikan bahwa wanita simpanannya itu tidak akan bisa menjadi sehebatku. Tidak akan pernah bisa.
Aku meletakkan tasku di atas meja. Tas yang cantik berwarna merah menyala dengan hiasan sepasang sayap berwarna emas yang terukir dengan api-api kecil di bagian ujung-ujung sayap. Tas ini kubuat saat aku mengetahui bahwa suamiku memiliki wanita lain. Aku marah sekali saat itu. Kurasa itu menjelaskan mengapa rasa itu berwarna merah menyala. Sayap terbakar itu melambangkan habisnya perasaanku pada lelaki itu. Tetapi, dia tidak tau apapun mengenai ini.
Ku layangkan pandanganku pada sebuah foto pernikahan kami yang tergantung manis di dindingku yang dilapisi wallpaper berwarna mint. Di dalam foto itu ia melingkarkan tangannya di pinggang ku sedangkan aku memegang buket bunga dan satu tangan menyentuh pundaknya. Kami tersenyum pada satu sama lain. I loved him. I used to love him.
Entah siapa yang harus ku salahkan dengan hilangnya perasaan ini. Apa itu diriku sendiri atau dia, aku tidak tau. Aku melakukan yang terbaik untuknya. Aku selalu mendukungnya. Tak terhitung lagi entah berapa banyak uang yang ku berikan padanya. Aku menanamkan uangku dalam jumlah yang cukup banyak pada setiap ide bisnis yang ia inginkan. Tetapi hampir tidak ada yang membuahkan hasil. Aku tidak berkata apa-apa akan hal itu. Kenapa? Aku mencintainya. Mataku dibutakan oleh perasaan cinta sehingga dengan mudah kuberikan semua uang yang ku bisa berikan untuk mendukungnya. Pikirku dulu, "Dia suamiku. Aku harus mendukungnya 100%."
Jadi mungkin aku bisa menyalahkan diriku sendiri karena begitu bodoh dulu. Hanya saja, aku tidak bisa menyesali semua yang telah terjadi.
Aku tidak bisa menurunkan foto itu dari dinding sebenci apapun aku padanya. Aku tidak mau semua karyawanku tau bahwa pernikahanku tidak berjalan lancar; bahwa hidupku tidak sekokoh kelihatannya. Mereka tidak perlu tau itu semua.
KAMU SEDANG MEMBACA
W'S
ChickLitTidak ada cinta. Setidaknya tidak ada cinta lagi di antara kami. Kami adalah dua orang yang dulu saling kenal yang tinggal di atap yang sama...