Aku menyapa semua karyawanku ketika aku masuk ke kantor hari ini. Lucy sudah berada di kantor lebih dulu karena memang ia berangkat lebih cepat. Beberapa karyawanku menanyakan mengapa aku tidak masuk beberapa hari yang ku jawab karena aku sakit selama beberapa hari. I just don't want they know that I have a broken marriage.
Aku masuk ke ruanganku dan meletakkan tasku di atas meja ketika ponselku berbunyi. Sebuah pesan masuk.
Jangan lupa untuk datang ke pesta sabtu ini.
Iya, pesan itu dari Wina. Memang hanya itu yang ia pedulikan. Beberapa hari aku tidak pulang, tidak sekalipun ia menanyakan dimana aku berada. Oh, mungkin dia justru bahagia karena tidak perlu melihat wajahku. Ku lemparkan ponselku dengan kasar ke meja. Haruskah aku datang? Terus terang saja aku ingin memberi Wina pelajaran. Aku ingin tau bagaimana perasaannya jika aku tidak muncul di pesta itu dan dia harus mengarang sebuah kebohongan tentang keberadaan ku. Haha! Lalu aku bisa jalan-jalan ke Bali, misalnya, sementara dia terperangkap di pesta itu.
Maaf, ya. Bukannya aku jahat.
Oke.
Aku memang jahat.
Kuacak-acak rambutku dengan kesal. Jika saja... Jika saja dia sedikit lebih peduli padaku... Damn it Wina! Damn it!! What makes you become this cold-hearted woman?!
Bip
Ku lihat ponselku lagi. Sebuah pesan dari Marcella kali ini. Bukan sebuah pesan yang ingin ku baca saat ini. Marcella mengatakan bahwa ia dengan senang hati menghubungi pengacara perceraiannya dulu jika aku memang sudah tidak tahan lagi dengan Wina. Ku balas pesannya.
No, Cell. I don't think this is what I want.
Tak lama Marcella menghubungiku. Ia menghela napas bahkan sebelum mengatakan 'Halo'.
"Yes, Cell." sapaku akhirnya.
"Why?" tanyanya. "I can't let her hurt you anymore!" kata Marcella.
"It's not that easy!" jawabku.
"It IS that easy! Lu kan udah bilang juga sama dia kalau lu bakal ngasih surat cerai?"
"Belum, Cell. Maksud gue nggak. Gue nggak bilang apa-apa soal surat cerai."
"Leo... " ia terdiam sesaat. "Please, think about it."
"Bye, Cell." kataku menutup telepon.
Cerai... kata itu kini merasuki pikiranku. Cerai... apa ini yang aku mau? Hidup tanpa Wina? Jika aku cerai, lalu apa? Aku tidak akan melihat Wina lagi. Aku tidak bisa melihatnya tidur atau membuatkannya sarapan. Aku tidak bisa lagi mencium wanginya ketika ia berada di rumah. Ini semua membuatku takut. Mendadak saja aku merindukan Wina.
Apa dia sudah sehat? Siapa yang menyiapkan sarapan untuknya selama aku tidak pulang? Apa dia benar-benar menjaga kesehatannya? Ku pejamkan mataku. Ku hapus semua kemungkinan terburuk yang dibuat otakku. Wina wanita yang kuat. Dia cerdas.
'Lalu kenapa dia bisa pingsan di kamar mandi?' tanya otakku. 'Dia tidak sekuat yang kamu pikir, Leo.'
Wina tidak sekuat yang aku pikir? Benarkah?
'She is your wife yet you don't know anything about her. And you call yourself a husband?' cela otakku lagi. Shit.
Tapi lalu mengapa dia bertingkah seperti ini? Dia menghukumku dengan cara yang kejam tanpa aku tau apa salahku. Apa dia berharap aku bisa membaca otaknya lalu mengerti semua dengan gampang?
'Ask her.'
I did! Malam ketika kami bertengkar, aku menanyakan pertanyaan itu, kan?
'Sometimes you are so stupid.' hina otakku lagi. Ku putar lagi memori itu. Saat itu memang Wina sedang sakit. Dia butuh istirahat. Tapi aku juga sudah tidak bisa bersabar lagi. Aku butuh penjelasan.
'Dengan cara berteriak padanya, Leo?'
Ku telan pertanyaan itu. Rasa bersalah mulai memasuki diriku. Lalu pertanyaan itu mulai menyerangku. Apa yang sudah kulakukan sehingga Wina jadi seperti ini? Kesalahan fatal apa? Ku bulatkan tekad untuk pulang hari ini. Kembali pada Wina dan menyelesaikan semuanya.
Harus.
KAMU SEDANG MEMBACA
W'S
ChickLitTidak ada cinta. Setidaknya tidak ada cinta lagi di antara kami. Kami adalah dua orang yang dulu saling kenal yang tinggal di atap yang sama...