10

2.9K 231 4
                                    

"Hai."  Lucy mendekatkan dirinya padaku dan meletakkan tangannya di pinggangku. Wajahnya masih sangat lelah. Rambutnya terbuai di bantal dan sebuah selimut menutupi tubuhnya dari sengatan dingin air conditioner. Ku balik tubuhku hingga menghadap wajahnya.

"What are you thinking about?" tanyanya dengan suara serak. Ku usap wajah cantiknya dengan telapak tanganku.

"Life." jawabku singkat.

"By life you mean Winara?" tanyanya lagi. Ia menghela napas. 

"Kamu cemburu?"  

"Buat apa aku cemburu? Buktinya kamu di sini malam ini, kan? We share the bed." Ia tersenyum. "Aku cuma tidak suka kamu memikirkan dia ketika kamu bersamaku."

"I know. I'm sorry." bisikku seraya mencium bibirnya agar memberikan sedikit ketenangan. Ia menerima bibirku dengan lembut dan membiarkan aku menguasainya. Meleburkan semua perkara dan membiarkan semuanya meledak dalam sebuah ciuman. Ku desak ia dengan lidahku. Ia memberikan balasan dengan lenguhan yang menginginkan lebih lagi. Ia mengalungkan tangannya di leherku lalu menarikku sehingga aku berada di atas tubuhnya. Ku lepaskan ciuman kami agar aku bisa bernapas sedikit. Ia tersenyum menggodaku seakan bertanya 'hanya segitu?' Aku tertawa pelan.

"No, Babe. I have more." bisikku yang membuatnya tertawa kecil. Kembali ku lumat bibirnya dan tidak memberinya kesempatan untuk bernapas. Tangannya mulai mencengkram pundakku meminta lebih lagi yang ia tau akan ku berikan. Ku biarkan ia menyebutkan namaku dengan penuh damba.

Lucy mendambakanku. Ia menginginkanku. Ia membuatku merasa diperlukan dan sebagai lelaki, ini memberikan kepuasan tersendiri buatku. Wina tidak mendambakanku. Tidak lagi. Dia tidak membutuhkan ku dan aku merasa tidak memiliki peranan penting lagi di hidupnya. Jika aku memang nantinya akan bercerai, mungkin aku akan menikahi Lucy dan membiarkannya mencintaiku. Namun, bagaimana bila aku yang tidak mampu memberikannya cintaku karena aku masih mencintai Wina? Lucy akan merasakan apa yang ku rasakan sekarang. Bayangan ini membuatku tertegun. Aku menghentikan ciuman kami lalu menghempaskan tubuhku ke samping Lucy. Ia menatapku dengan tatapan terluka.

"Kenapa? Apa yang salah?"

"I can't do this, Luce. Not now..." kataku sambil beranjak duduk. Aku mengancingkan kembali baju tidurku lalu berjalan ke luar kamar. I need a drink.

Aku duduk di ruang televisi dalam gelap setelah mengambil sekaleng bir dari lemari es Lucy. Ku tangkupkan kepalaku di kedua telapak tangan. Sikuku ku letakkan di paha.

"Leo..." Lucy menghampiriku. Aku menengadah dan melihat wajahnya.

"I know this is hard for you. For us." ia duduk di sampingku. "But please, let me love you."

"Luce... I don't think this is fair for you. You give me all your love while I still have a wife that i really care about." ku genggam tangannya.

"You think I don't know about that?" tantangnya. "Ketika aku jatuh cinta padakamu, kamu pikir aku tidak tau apa yang sedang ku hadapi? I know, Leo. But yet I can't handle it. I love you." Aku terdiam tak tau apa yang harus ku katakan.

"Dengar, Leo. Tak cukupkah jika kita hanya memiliki cinta? Aku tidak menuntut apa-apa. Tidak menuntut kamu untuk menikahiku. Tidak juga memintamu membiayai hidupku. Yang aku butuh adalah kamu. Kamu."

"Oh, Luce. Seandainya semua begitu sederhana... Kamu harusnya jatuh cinta pada lelaki lain yang bisa menikahimu." ucapku. Lucy membuang muka karena merasa tersakiti.

"Apa aku salah jika ingin menikmati apa yang kita miliki ini sebaik mungkin?" Lucy setengah berteriak. "Aku tau kamu akan kembali pada istri sialan mu itu, tapi tolonglah... Izinkan aku menikmati keberadaanmu. Berikan aku cintamu, Leo. Untuk malam ini, atau besok, atau beberapa hari ini. Tidak perlu untuk selamanya. Jika setelah itu kamu ingin kembali pada istrimu, aku tidak akan menghalangi." 

"Lucy..."

"Aku hanya ingin dicintai... Apa itu sulit buatmu?" Lucy mulai terisak.

"Sshhhh.... maafkan aku, Luce. Hey.... sudah... jangan menangis." Ku rengkuh dia dalam pelukku. Ku belai rambutnya yang panjang.

"Izinkan aku menikmati apa yang kita miliki, Leo..."

"Iya... iya, Lucy." bisikku. Lucy masih terisak. Ia memelukku dengan erat. "Let's go back to sleep, sweetheart." kataku. Ku rangkul dia dan ku tuntun gadis itu kembali ke kamar kami. Ku biarkan dia tidur di dalam pelukanku karena memang hanya ini yang bisa kuberikan padanya. Oh, Lucy... maafkan aku.


W'STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang