18

2.8K 231 2
                                    


"Pagi, Pak." seorang suster membangunkanku. Aku tertidur di sisi tempat tidur Wina ternyata. Leherku sedikit sakit ketika aku mencoba menoleh ke arah suster itu.

"Sebentar lagi dokter akan berkunjung, ya." kata suster lagi. Aku mengangguk dan membiarkan suster itu pergi lagi. Ku lirik jam tanganku. Sudah pukul sepuluh pagi ternyata. Aku berdiri dan mengecup kening Wina sebelum pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi.

Di dalam kamar mandi, ku pandangi wajahku. Wajah lelah yang sulit tidur semalaman. Tidak. Aku harus kuat untuk Wina. Cepat-cepat ku basuh wajahku dengan air dingin.

Bip.

Gue diluar. Bawa kopi sama makanan.

Pesan dari Marcela muncul di ponselku. Sahabat terbaik yang pernah ku miliki. Kata orang, pria dan wanita tidak mungkin menjadi sahabat. Tapi lihatlah kami. Aku dan Cela saling menyayangi tapi hanya sebatas sahabat saja. Memang Cela dan Wina tidak bisa sedekat aku dan Cela, tapi Cela ikut berbahagia ketika aku menikahi Wina dan Wina juga tidak pernah sekalipun cemburu dengan keberadaan Marcela.

Setelah aku selesai cuci muka dan gosok gigi, aku keluar ruangan dan menemukan Marcela duduk di ruang tunggu dan tersenyum.

"Gimana Wina?" tanyanya sambil menyerahkan kopi panas dan bubur ayam.

"Masih belum ada perubahan." Aku mengangkat bahuku lalu duduk di sampingnya. "Sebentar lagi dokter berkunjung."

"Wina akan baik-baik aja. Itu sih yang gue yakinin." Cela menepuk lututku untuk memberi semangat.

"Keponakan gue mana?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Sekolah lah. Menurut lu? Dia titip peluk hangat buat lu, Om kesayangannya. Lebih disayang dibandingkan emaknya sendiri." Aku tertawa menanggapi kata-kata sahabatku ini. 

Dokter Robert dan seorang perawat mendekatiku dengan pakaian mereka yang serba putih. "Pak, saya akan berkunjung ke kamar Ibu Wina, ya." Dokter Robert berkata. Ia tersenyum padaku dan Marcela. "Saudara Ibu Wina?" Ia mengalihkan pandangannya pada Marcela.

"Saya sahabat pria ini, Dok." Cela menunjukku. "Saya Marcela." Ia memperkenalkan diri.

"Saya Robert." Dokter Robert menjabat tangan Marcela. "Baik, kalau begitu saya ke ruangan Ibu Wina lalu saya akan kembali ke sini untuk memberitahu perkembangannya." Pria berkacamata itu mengangguk padaku dan Marcela.

"Leo... He is hot!!!" pekik Marcela. Ku lirik wanita berambut hijau di sampingku.

"Dih... sehat lu?" cemoohku.

"I wish i'm not... biar bisa dirawat dia, Le." Ku sentil jidat Marcela dengan jariku. Ia mengadu pelan tapi lalu memukul pundakku.

"Udah punya istri belum, ya?" tanya Cela padaku.

"Mana gue tau. Noh, tanya sendiri sama dia."

"Aduh, Leo. Dia pasti udah punya istri kali, ya. Kalau belum punya, pasti pacarnya ada. Ganteng, putih, tinggi begitu. Untung Wina udah lu nikahin ya, Le."

"Ha? Kenapa?"

"Iya, biar saingan gue kurang satu." Marcela tertawa. 

"Tapi kalau Wina sadar, dia gak bakal jatuh hati sama dokter itu kan?" tanyaku mulai khawatir.

"Ya jangan sampai, lah. Makanya, lu itu baik-baikin si Wina. Biar dia gak lirik-lirik cowok lain." celoteh Marcela. Aku  memukul lengannya pelan dan tak sadar kalau Dokter Robert sudah berdiri di dekat kami.

W'STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang