6

3K 264 6
                                    

" Udah waktunya pulang, ya. Yuk pulang." kataku pada rekan-rekan kerjaku. 

"Masih tinggal dikit lagi nih, Pak." kata Lulu,  yang merupakan koordinator di bagian produksi. Ia tengah membuat laporan saat itu.

"Oke. Tapi jangan lama-lama, ya. Kasian suami kamu." candaku. Ia tersenyum dan mengancungkan jempolnya.

Aku berpamitan pada staffku yang lain dan berjalan ke parkiran. Aku menjalankan mobilku menembus jalanan yang baru mulai padat. Aku membelokkan mobilku ke jalan yang berlawanan dengan jalan pulang. Pulang ke rumah membuatku sakit kepala, jadi aku lebih suka menundanya.

Sebagai gantinya, aku mengendarai mobilku menuju rumah seorang sahabat. Sahabatku ini seorang wanita yang luar biasa sekali. Orang tua tunggal yang memiliki seorang putri remaja yang masih mencari siapa jati dirinya. Kalian pasti paham bagaimana rumitnya seorang remaja, kan. Tak jarang aku mendengar sahabatku ini mengeluh soal putri semata wayangnya itu.

Marcela, nama sahabatku itu. Aku berteman dengannya sudah sejak aku masih kuliah. Mantan suaminya juga ku kenal. Mereka menikah 13 tahun yang lalu. Seusai Marcela menerima gelar sarjananya, mantan suaminya itu melamar dan akhirnya mereka melangsungkan pernikahan pada bulan Desember tahun itu juga. Sayangnya, lelaki itu terlalu berfokus pada pekerjaannya sehingga membuat Marcela merasa tidak diperhatikan. Mereka bercerai setelah terlalu sering bertengkar.

Ku tekan klaksonku tiga kali di depan rumah Marcela. Wanita itu segera keluar dan melambaikan tangannya padaku. Aku turun dari mobilku dan memeluk wanita berambut pirang-hijau itu.

"how are you?" tanyanya.

"Tired." jawabku.

"Yuk, masuk." aku mengikutinya dari belakang. Aku lalu duduk di sofa lamanya yang memang empuk sekali sementara Marcela menghilang ke dapur. Membuat minum untukku.

"If you have some beer, i'll appreciate it." kataku.

"You need to drive yourself home, silly!" jawabnya dari dapur. Tak lama ia sudah berjalan kembali ke ruang televisi, tempat aku berada dengan membawa secangkir minuman hangat yang uapnya masih melayang-layang di udara.

"Errgg.. you can order a taxi." bujukku.

"nope." ia lalu meletakkan cangkir itu dihadapanku. Kopi. She knows me that much.

"Jadi?" tanyanya seraya duduk di sebelahku.

"Jadi apanya?" aku bertanya karena bingung.

"Lo nggak mungkin dateng ke sini kalau nggak ada cerita yang mau lu bagi." ia mulai menyalakan rokoknya.

"Kapan sih lu bisa berenti ngerokok, Cel?" Protesku.

"Nanti, kalau gue udah masuk ruang UGD karena rokok." katanya setelah menghisap rokoknya dalam-dalam. "Jadi?" tanyanya lagi.

"It's always about Winara." kataku kesal. "I don't understand her. If only I could open her head and see how her brain works, it would make me better."

"What's wrong?"

"She keeps ignoring me. She acts as if I'm nobody. For godsake , kami tinggal satu rumah dan dia sama sekali nggak ngomong sama gue! dan lu tau, dia cuma kirim pesan kalau dia mau gue dateng ke pesta temennya bareng dia. That's it." aku menarik napas. "Pernikahan kami ini udah nggak jelas kayak apa!" geramku. Marcela tetap diam menantiku berbicara.

"Gue nggak bisa punya pernikahan kayak gini, Cel." ku ucapkan kalimat itu dengan lemah.

"Apa lu mau cerai?" tanya Marcela yang membuatku melotot.

"Lu gila? I can't! pernikahan itu sekali seumur hidup buat gue."

"I used to think that way back then. Tapi lalu gue mikir, buat apa gue ada di perahu yang sama dengan orang yang selalu bikin gue sakit hati? The ship won't go anywhere." Marcela meremas tanganku.

"No. cerai bukan jalan satu-satunya." aku bersikeras.

"Lalu apa?"  Marcela menghisap rokoknya dalam-dalam lalu meletakkan rokok yang masih setengah itu di asbak. "Lu nggak punya anak. Lu nggak perlu sepusing gue dulu."

"Dammit, Cela! Bisnis gue itu, setengahnya adalah duit dari Wina. kalau gue cerai, terus dia tarik semua uangnya, maka gue akan bangkrut."

"Terus lu mau gimana lagi?  Bersabar sampai kapan? " Cela bertanya dengan sabar. Ia menatapku dalam-dalam hanya untuk menemukan kelelahan yang tidak berujung.

"Hidup sendiri nggak semengerikan yang lu kira. Liat gue. Gue justru merasa lebih bebas sekarang. I write, i get money, i pay my kid's tuition. I dye my hair, I smoke, I wear what I wanna wear. No one can say I can't do what I want to. Masalah hidup gue sekarang berkurang setelah gue cerai."

"I don't know, Cel." kataku pelan.

"Just think, Leo. You deserve a better life than this." ia menepuk pipiku lalu menghisap rokoknya lagi.

"I just want my old wife..."Ku letakkan wajahku di kedua telapak tanganku. Ku biarkan Marcela membelai rambutku dan menyandarkan kepalanya di kepalaku. Untuk saat itu aku tau ia merasakan apa yang kurasakan. Ia membiarkanku membagi bebanku dengannya.

W'STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang