19

2.8K 214 4
                                    

Ku tatap pintu depan rumah orang tuaku. Rumah besar dengan dominan warna putih berdiri gagah di hadapanku. Ku tarik napas panjang sebelum ku tekan bel. Hanya butuh beberapa saat hingga pintu terbuka. Mama sendiri yang berdiri di depanku dengan senyum sumringah. Sejak aku pindah ke apartemen, aku memang jarang sekali pulang ke rumah ini.

"Hai, sayang." Mama memelukku dengan erat. "Kamu kok kurus banget sih sekarang?" komentar mama sambil mengamati tubuhku.

"Perasaan Mama aja. Dari dulu juga aku segini." Ku cium pipi mama. "Papa mana?"

"Ada, lagi teleponan di ruang kerjanya. Kamu mau makan malam di sini?" tanya mama. Aku mengangguk.

"Mama masak apa?" tanyaku sambil menghempaskan diri ke sofa di depan TV.

"Masak apa ya? Mama nggak tau. Habisnya kalau cuma berdua doang sama Papa kamu, Mama nggak masak yang macam-macam. Paling cuma udang tepung atau ayam bakar sama sayur-sayur gitu aja. Nah, makan malamnya kita beli aja, ya? Mama agak malas masak. Maunya nemenin kamu aja." Aku tertawa karena memang mama bukan tipe ibu-ibu yang suka memasak, jadi ia akan mengusahakan segala cara untuk tidak memasak.

"Eh, ada anak Papa yang paling cantik." Papa keluar dari ruang kerjanya lalu menepuk kepalaku.

"Kan anak Papa cuma aku doang." jawabku. Papa tertawa.

"Pa, kita pesan makanan dari restoran favorit kita aja ya buat makan malamnya. Mama mau nemenin Wina seharian."

"Ah, Mama. Bilang aja nggak mau masak." Papa tertawa. "Ya sudah. Terserah Mama saja." Papa lalu mengalihkan pandangannya padaku lalu duduk di sebelahku.

"Gimana usaha kamu?"

"Aku lagi nyiapin beberapa design tas, sih Pa."

"Seperti biasa ya, Win. Mama dikasih satu yang paling bagus." Mama mengedipkan mata padaku. Aku tersenyum. Oh, Tuhan. Aku tidak tega menghancurkan tawa mama dan papa dengan berita yang akan ku ledakkan malam ini.

"Win? Kamu denger Mama ngomong nggak, sih?"

"Oh iya. Denger kok, Ma. Mama pasti bakal aku kasih, kok. Satu tas dari setiap design." Kataku.

"Iya, nggak lama lagi Mama bakal minta dibeliin satu lemari lagi buat tasnya." gerutu Papa.

"Jangan pelit dong, Pa." goda Mama.

"Ya terserah Mama lah. Papa mau ngurusin kerjaan lagi." Papa berdiri lalu berjalan menuju ruang kerjanya lagi.

Ku habiskan sore itu bersama Mama dengan bercerita panjang lebar tentang geng jetset nya yang juga tukang gosip. Ya, begitulah. Mama tidak perlu bekerja sedangkan papa pengusaha sukses dengan kantor cabang yang menjamur di mana-mana. Jadi kehidupan mama memang hanya dirumah atau pergi bergaul dengan teman-temannya. Semua baik-baik saja hingga tiba waktu makan malam.

Mama memesan banyak makanan dari restoran favoritnya. Semua makanan ini sangat menggiurkan andai saja aku tidak gugup. Ku lirik Papa dan Mama yang tengah menyantap makan malam. Baiklah. Aku harus mengatakan ini. Ku tarik napas panjang, lalu...

"Ma...Pa..." Aku menatap kedua orang tuaku. Papa menatapku lalu meletakkan sendok dan garpunya tanda bahwa ia akan mendengarkanku. Mama melirikku lalu melakukan hal yang sama. Aku harus melakukannya! Ini alasanku pulang ke rumah! Ayo, Winara... kamu bisa! Ku coba menyemangati diri.

"Ng...Leo... melamarku." Kataku takut-takut.

"Apa? Kamu serius?" Kening Papa berkerut. Aku mengangguk. Ku tatap piring di hadapanku.

"Winara! Apa yang kamu lihat dari pria itu, ha?!" Papa berkata dengan nada marah. "Dia itu tidak punya masa depan! Kuliah saja tidak selesai, kok!"

"Pa... banyak orang yang sukses tanpa jadi sarjana." belaku.

"Tapi lebih banyak yang menderita karena tidak jadi sarjana!" Papa makin berang.

"Pa... tenang." Mama mengelus lengan papa untuk menenangkan. Mama lalu menatapku dalam-dalam. "Kamu yakin dengan keputusan kamu, Wina?"

"Iya, Ma. Aku cinta Leo." akuku.

"Persetan dengan cinta! kamu mau dikasih makan apa, Win? Cinta nggak bisa loh ngasih makan kamu!" Papa berdiri, ia mengurut pelipis dengan jarinya.

"We'll figure it out." cicitku. "Pa...please."

"Tidak, Winara! Kamu putri Papa satu-satunya! Papa nggak bisa merelakan kamu menikahi seorang yang bahkan nggak bisa membiayai dirinya sendiri!" Aku menunduk. "Kamu tidak akan menikahi pria itu. Besok Papa kenalkan kamu sama anak teman Papa."

"Pa. Papa nggak ngerti! Aku nggak mau pria lain. Aku nggak akan bahagia kalau pria itu bukan Leo!" Aku bangkit dari tempat dudukku.

"Omong kosong! Justru kamu tidak akan bahagia dengan Leo! Papa tau, Wina! Dan Papa tidak akan merestui pernikahan kamu kalau orang itu Leo!"

Hening.

Mama menutup mulut dengan telapak tangannya.

Aku menatap Papa dengan pandangan tidak percaya.

"Fine, Pa. I get it! Guess this will be the last time you see me around. Good bye." kataku menahan tangis. Aku berjalan cepat menuju ruang keluarga untuk mengambil kunci mobil dan tasku. Sia-sia. Untuk apa aku datang ke sini? Harusnya aku tau Papa tidak akan merestui.

"Wina... Nak... jangan begitu." Mama menarik tanganku. Menangis.

"Aku nggak bisa, Ma. Mama lihat sendiri gimana Papa nolak Leo."

"Papa khawatir dengan masa depan kamu, sayang... Mama mohon. Ayo tenangkan diri kamu. Kita bicarakan lagi baik-baik, ya."

"Keputusan kami sudah bulat, Ma. Kami akan menikah. Dan tolong beritahu Papa kalau aku bukan lagi anak kecil. Aku sudah dewasa, Ma. Aku berhak menentukan hidupku. Apa aku akan menderita di masa depan, atau apa aku akan bahagia? Apapun hasilnya, itu keputusanku. Tolong Mama ngertiin aku. Maaf, Ma. Aku harus pergi." Ku peluk Mama lalu berlalu.

Sejak saat itu, aku dan papa tidak pernah bertukar kabar lagi. Mama masih menghubungiku sesekali tapi hanya jika papa tidak ada. Ku katakan pada mama bahwa pernikahanku baik-baik saja, walau nyatanya aku dan Leo sudah tidak bicara. Aku tidak mau papa merasa menang karena apa yang ia pikirkan tentang Leo benar. Bahwa Leo tidak bisa membuatku bahagia. Aku terlalu malu mengakuinya.

W'STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang