24

3.6K 211 3
                                    

Aku bersyukur.

Betul, aku memang telah menyakiti seorang wanita yang mencintaiku. Betul, aku telah membuat istriku sendiri merasa tidak bisa menerima dirinya sendiri. Dan betul, aku memang seorang yang berengsek. Namun dibalik itu semua, aku bersyukur.

Lucy pasti akan baik-baik saja. Ia wanita yang pintar. Aku yakin ia akan menemukan seorang pria yang mampu mencintainya sebanyak ia mencintai pria itu. Aku tidak akan bisa melupakan dia, tapi akupun tidak akan mencoba mengingatnya lagi. Dan Wina, istriku yang terkasih, dengan luar biasa masih mau menerima aku sebagai suaminya. Untuk itu, aku sangat bersyukur. Aku, seorang pria berengsek, tapi masih diizinkan mendapatkan kesempatan kedua untuk membahagiakan Wina.

Kami harus menyelesaikan semua masalah kami agar pernikahan kami kali ini menjadi lebih kuat. Tinggal satu masalah lagi yang harus kami hadapi bersama. Orang tua Wina. Aku tau Wina tidak bisa tidur. Punggungnya menghadap ku, berlagak seperti ia tidur nyenyak, namun aku bisa merasakan keresahannya. Menghadapi orang tua Wina tidak mudah, mengingat kami dulu nekat menikah walau orang tua istriku itu tidak merestui.

"Wina..." panggilku lembut. "Aku tau kamu belum tidur." Wina membalikkan tubuhnya sehingga aku bisa melihat wajahnya.

"Kamu kenapa?" tanyaku. Ku belai rambut yang membingkai pipinya.

"Kamu yakin besok mau ke rumah Papa Mama?"

"Iya, Sayang. Harus. Tinggal masalah ini saja yang belum selesai." Ku tatap Wina yang terdiam. Ku dekatkan tubuhnya ke dalam pelukanku. "Jangan khawatir. Semua akan baik-baik saja." Ku tepuk punggungnya pelan untuk menenangkan.

Kami berpelukan seperti itu sepanjang malam. Entah siapa yang tertidur terlebih dahulu, aku tidak tau. Yang pasti, ketika aku bangun, Wina sudah tidak di sampingku lagi.

"Wina..." Kupanggil nama istriku itu.

"Ya?" Wina muncul di depan pintu kamar kami dengan secangkir kopi di tangannya. "Ini buat kamu. Rasanya gak seenak kopi buatan kamu, sih. Tapi diminum, ya." Wina duduk di pinggir tempat tidur lalu menyodorkan cangkir itu ke wajahku.

"Terimakasih, Sayang." ucapku seraya menerima cangkir itu. Ku seruput kopi itu pelan-pelan. Wina benar. Kopi ini tidak seenak kopi buatanku, tapi aku paksakan senyum di wajahku. "Enak." bohongku.

"Jangan coba-coba nipu, Leo." Wina melipat tangannya di depan dada, kesal.

"Hahaha. Ini enak karena kamu yang bikin." Ku letakkan cangkir itu di atas nakas lalu kupeluk Wina. "I love you."

"I love you, too." Wina tersenyum kemudian mengecup bibirku singkat.

"Ya udah, kamu siap-siap ya. Jam sebelas kita berangkat ke rumah orang tua kamu." Kataku.

"Kamu yakin?" tanya Wina berusaha mengubah pikiranku.

"Iya. Sana mandi." ku dorong tubuhnya pelan. Wina berdiri lalu berjalan ke kamar mandi sementara aku berjalan ke dapur untuk membuat kopi lagi dengan caraku sendiri. Bukannya aku tidak menghargai Wina, tapi aku benar-benar butuh kopi yang enak untuk menghadapi hari ini. Entah apa yang terjadi nanti, setidaknya otakku akan bekerja dengan lebih baik karena sudah ada kafein dalam darahku.

"Leo... Aku kayaknya demam, deh." Wina yang dalam balutan handuk kimono mendatangiku yang tengah meneguk kopi di ruang makan.

"Win... beneran deh." ku hela napasku. "Kamu tuh baik-baik aja. Aku tau. Jangan cari alasan, ya." Wina mendengus.

"Sana pakai baju. Aku mau mandi dulu." ku dorong tubuhnya ke dalam kamar kami. Ia duduk di pinggir tempat tidur, menatapku.

"Wina..."

W'STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang