8

2.8K 252 1
                                    


Ku tatap jam di pergelangan tanganku. Sudah empat puluh lima menit Wina berada di dalam kamar mandi. Ku buka kemejaku dan ku sampirkan di bangku riasnya. Tidak biasanya dia mandi selama ini. Apa dia tidak tau bahwa akupun harus mandi? Aku sudah cukup lelah seharian dan seharusnya dia tidak membuatku lelah menunggunya selesai mandi juga. Memang bukan ini satu-satunya kamar mandi yang kami punya di rumah ini, tapi kamar mandi inilah yang memiliki segala macam perlengkapan mandiku yang lengkap.

Karena kesal menunggu, akhirnya aku melangkah ke arah pintu kamar mandi dan ku ketuk.

"Win... Wina..." tak ada jawaban. Bunyi air terus terdengar. "Winara." panggilku lagi. Tidak ada balasan. Mendadak rasa takut menyelimutiku. Jantungku berdetak tak karuan. Ku ketuk lagi pintu kamar mandi dengan lebih kasar kali ini.

"Win? Say something!" teriakku. "Aku dobrak kalau kamu nggak jawab!" teriakku. Masih tidak ada jawaban darinya. Aku mundur untuk mengambil kuda-kuda lalu berlari kencang ke arah pintu. Ku dobrak pintu untuk kedua kalinya hingga pintu terbuka. Kucari sosok Wina. Rasanya darahku berhenti mengalir. Jantungku berhenti berdetak. Winara tergeletak dibawah air pancuran yang mengalirkan air panas dengan deras.

"Aw!" teriakku ketika tanganku terkena siraman air panas dari pancuran sebelum aku berhasil memutar krannya. Ku perhatikan tubuhnya sekilas, sejauh ini belum ada luka bakar. Dengan panik, ku angkat tubuh telanjangnya dan ku baringkan dia di tempat tidur kami. Ku pakaikan pakaian yang pertama ku lihat di lemari pakaiannya dan ku larikan ia ke rumah sakit.

Wina.... apa yang ada di dalam otakmu?

Mengapa kamu lakukan ini padaku?

Berulang kali ku lirik istriku yang ku dudukkan di kursi penumpang sampingku untuk melihat apa dia sudah sadar atau belum. Ku larikan mobilku seperti orang gila. "Tolong Win... tolong bangun..." bisikku. Ku genggam tangannya. Ketika ku rasakan tangannya bergerak, semakin kuat ku genggam tangannya.

"Sabar ya, Win. Kita sebentar lagi sampai rumah sakit." bisikku. Wina perlahan membuka matanya. Ia menggeleng lemah.

"Kita pulang." ucapnya.

"No. Kita harus ke rumah sakit, Win."

"Aku bilang kita pulang!" desaknya. Ku pinggirkan mobilku.

"What the hell, Wina?" ku tahan emosiku. Wina menggeleng.

"I just wanna be home. I'm fine." ia pejamkan matanya lagi. Ku hela napasku. Tidak ada gunanya melawan keinginan Wina.

"But promise me, kalau kamu ngerasain sakit, kita bakal ke rumah sakit." Ia mengangguk tanpa membuka matanya. Ku jalankan lagi mobilku lalu mencari putar balik terdekat.

Ketika kami sampai di rumah, ku paksa Wina untuk menungguku membukakan pintu mobil baginya yang kali ini ia patuhi. Ku gendong dia masuk ke kamar kami lalu dengan hati-hati, ia ku baringkan di tempat tidur. Ia membalikkan badannya untuk memunggungiku. Lihat, betapa keras kepalanya dia. Bahkan dalam situasi seperti ini pun ia masih menghindariku.

"Win, why did you do it to me?" kataku tak sabar. "Wina..."

"I didn't do anything." jawabnya singkat.

"Don't pretend nothing happened."

"I need to sleep." Rasanya ingin ku banting lampu yang ada di pinggir tempat tidur mendengar jawabannya itu.

"Wina! Kenapa kita seperti ini? Kenapa kamu tidak mau lagi berbicara denganku?" aku setengah berteriak. Tiba-tiba Wina bangkit dengan matanya yang menyiratkan kebencian.

"Leave me alone!" teriaknya. "Leave me alone!!" Ia melemparkan bantal ke arahku yang membuatku menghindar.

"Fuck! Whatever, Win!" ku balikkan badanku lalu ku banting pintu ketika aku berlalu. Ku raih vas bunga yang ada di tengah meja dan ku banting ke dinding. I can't handle it anymore. Ku ambil kunci mobil lalu pergi entah kemana yang membuatku tenang.

W'STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang