21

3K 215 2
                                    

Rumah sakit, apapun ruangannya, tetap tidak akan membuatku merasa nyaman. Aku sudah di bawa ke ruang VVIP yang harganya setara dengan hotel bintang berapa lah itu. Pokoknya, mahal. I know, Leo will spend half of his saving to pay this shit. I don't want him to, so I insist to pay everything with my own money.

"No, Wina. I'm your husband, remember?" dia menatapku dengan lembut. Sekian lama aku tidak di tatap begitu.

"Tapi nanti kamu jadi mendadak miskin." jawabku. Ia menggeleng lalu menggenggam tanganku yang masih diinfus.

"Itu bukan apa-apa dibandingkan dengan apa yang udah aku perbuat ke kamu selama ini, Wina."

The thing is, we are trying to fix our marriage. Kalau kalian tanya apa yang membuatku berubah pikiran, aku bisa jelaskan. Ketika aku sadar, Marcela ada di sisiku. Aku memang tidak terlalu dekat dengannya tapi dia dan Leo adalah sahabat lama. Ketika Marcela ingin memanggil Leo karena aku sudah sadar, aku menarik tangannya dan memintanya untuk tidak melakukan itu. Aku masih tidak mau Leo berada di sekitarku, itu kataku padanya. Lalu Marcela menatapku dengan berang.

"Lu tuh nyebelin, tau nggak Win!" serang Marcela. "Gue ini sahabat Leo. Gue ini yang jadi tempat sampahnya setiap kali kalian berantem. Dan lu tau, dia itu nggak mau ceraiin lu walaupun sebenernya dengan senang hati gue bakal kenalin dia ke pengacara gue. Gue pribadi maunya kalian cerai. Gue nggak mau sahabat gue disakiti lagi sama elu dan ego lu!" Ku biarkan dia marah. "Tapi Winara, nggak sekalipun Leo mau menceraikan elu..." nadanya melunak. "Dia masih cinta sama lu, Win. Apa harus gue bilang itu ke elu supaya lu sadar?"

"Gue memang baru tau bahwa sahabat gue itu ternyata selingkuh. Dan gue bener-bener mau pukul dia sampai babak belur karena marah. Tapi dia nggak cinta wanita itu seperti dia cinta lu, Winara." Marcela menatap ku. "Dia akan memutuskan hubungannya dengan wanita itu. Jadi, jangan hukum dia lagi. It's enough.... atau gue harus terpaksa paksa dia buat cerai. He deserves to be happy."

"Don't you think i deserve to be happy as well?" tanyaku.

"I know. Both of you deserve to be happy. And this... this is not the way to get the happiness."

"Gue nggak tau apa permasalahan utamanya sampai kalian berantem bertahun-tahun. Tapi kalau masih ada cinta di sana, tolong perjuangkan. Biar kalian sama-sama bahagia." lanjutnya. "Maaf ya, Win kalau gue nyerang lu begini disaat lu lagi sakit. Laki-laki di luar sana, dia masih cinta sama lu." Ia menekankan. Aku terdiam lagi. Ketika Marcela pamit pun aku hanya memintanya untuk tidak mengatakan pada Leo bahwa aku sudah sadar dan ia mengangguk.

Ketika Leo kembali ke ruanganku, ku pejamkan mataku lagi. 

"Kalau kamu sadar, aku janji akan cat kuku kamu, Wina...Aku akan memperlakukan kamu lebih baik....Aku hampir kehilangan kamu dua kali, Win. Dan tau nggak kamu gimana rasanya? Rasanya aku mau mati saja kalau kamu nggak bangun lagi."

Ia menghancurkan es yang ada di hatiku. Membongkar dinding yang ku bangun bertahun-tahun. Iya. Hanya dengan kata-kata itu. Atau mungkin akupun sudah lelah bersembunyi di dalam ruangan gelap yang ku bangun sendiri. Aku ingin pernikahan ini kembali. Itu yang ku tau dan yang ku mau.

Aku menatapnya dalam-dalam. Membiarkanya tersenyum padaku lalu mengecup tanganku. Leo membelai rambutku dengan lembut. "Ini rambut kamu udah harus di cat lagi, Sayang." katanya.

"Iya. Nanti temani aku ke salon." pintaku. Ia tertawa pelan. "Ke manapun kamu mau pergi, Wina, aku ikut. Aku nggak akan sia-siain satu haripun." janjinya. Lalu, disaat itu Mama datang.

"Wina... Kamu nggak apa-apa, Nak?" Mama membuka pintu kamar lalu berjalan tergopoh-gopoh mendekatiku. Aku menggeleng. Leo berdiri dan membiarkan Mama mengambil alih tempat duduknya.

"Aku udah baik-baik aja, Ma."

"Ini kamu kenapa sebenarnya?" tanya Mama memandangku dan Leo bergantian. Aku menatap Leo sekilas untuk mengingatkannya untuk diam.

"Aku kram waktu itu, Ma. Jadi tidak bisa berenang kepinggir pantai." bohongku. Mama menyipitkan matanya.

"Kamu kepantainya sendirian? Terus kenapa pake berenang di pantai segala?" tanya Mama lagi.

"Ng... Aku hanya iseng, Ma." kataku asal. Aku berharap Mama akan berhenti bertanya. Aku tidak bisa berbohong terus, Ma. Mama menyipitkan matanya. Aku yakin Mama sebenarnya ingin bertanya lagi, tapi ia membiarkan ku.

"Kamu bikin jantung Mama copot, Wina! Lain kali hati-hati, dong! Nggak usah berenang-berenang di pantai lagi kenapa, sih?" Aku tersenyum mendengar ocehan Mama. It's been years I didn't hear you nagging.

"Eng...Papa apa kabar?" tanyaku. 

"Wina...Papa baik-baik saja. Secara fisik. Tapi Mama tau pria tua itu merindukan kamu." Mama menghela napas. "Kenapa kamu tidak mencoba berbicara lagi dengan Papa?" Kami terdiam. Lalu Mama merogoh tasnya dan mendapatkan ponselnya bergetar heboh.

"Eng... ya? Halo Pa?" Mama melirikku. "Mama di Rumah Sakit.... Bukan, Mama baik-baik aja." Mama menghela napas. "Wina yang sakit. Udah nggak apa-apa, tapi.... Iya.... Rumah Sakit Kumala Sari, Pa... Oke." Mama menutup ponselnya.

"Ma? Mama kenapa kasih tau Papa kalau aku sakit?"

"Kamu kan tau, Mama nggak bisa bohong sama Papa." Mama menggenggam tanganku.

"Papa akan ke sini, Ma?" kali ini Leo yang bertanya. Mama menggeleng.

"Papa ada meeting penting. Tapi Papa khawatir, Wina. Mama tau itu." Mama menghiburku.

"Tidak apa-apa, Ma. I know he won't come. Aku juga nggak berharap Papa untuk datang, kok." Aku mencoba untuk tersenyum.

"Kamu tau, Wina. Harga diri kalian sangat tinggi." Mama diam sesaat. "Kamu anak kami satu-satunya. Kamu anak kebanggaan Papa. Papa sayang sama kamu lebih daripada Papa sayang sama dirinya sendiri. Ketika kamu memutuskan untuk pergi dari kehidupannya, saat itu kamu mengambil apa yang paling berharga dari dirinya." Mama berdiri dari duduknya lalu mengalihkan pandangannya pada langit-langit.

"Memang Papa juga bersalah karena sudah melarang pernikahan kalian. Tapi tidak bisakah kalian semua berdamai? Kamu tau apa rasanya hidup selama bertahun-tahun terperangkap di tengah-tengah perang dingin kalian? Menyakitkan, Wina. Melelahkan."

"Tolong pikirkan sekali lagi, Win. Papa dan Mama tidak hidup selamanya. Kami sudah tua. Apa menurutmu terlalu berlebihan jika kami berharap anak dan menantu kami bisa berhubungan baik dengan kami? Pikirkan lah, Win." Mama berbalik lalu meninggalkan aku dan Leo terdiam tenggelam dalam pikiran kami masing-masing.

W'STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang