Aku mengurut pelipisku selama beberapa menit berharap dengan melakukan itu sakit kepalaku akan berkurang. Lucy benar-benar membuatku sakit kepala. Tapi aku tidak bisa menyalahkan dia. Aku yang salah. Dari awal memang aku yang bermain api dan berharap tidak terbakar. I was so dumb!
"Le, are you okay?" Marcela yang baru saja menjenguk istriku tiba-tiba berdiri di samping. Ia meletakkan tangannya di bahuku. Aku menggeleng lemah.
"Lucy mengancam akan datang ke kantor dan bilang ke semua orang kalau gue selingkuh. Gila, kan? Dia minta gue untuk datang ketempat dia!" Cela duduk di sebelahku lalu menghela napas panjang.
"You know, you should meet her." Aku menatap Cela seakan dia sudah gila. "Itu bener, Leo. Lu harus ketemu dia dan bikin dia ngerti kalau lu mau hubungan kalian selesai. Kalau gue di posisi dia, gue juga mungkin bakal ngelakuin hal yang sama. Ini nggak adil buat dia, Leo."
"Gue tau, Cela... Tapi gue juga nggak mau ninggalin Wina di sini sendirian saat dia bahkan belum sadar."
"Kalau gitu, begitu Wina sadar, dan lu mau ketemu si Lucy itu, lu kasih tau gue. Biar gue gantiin tempat lu untuk jagain Wina..." ia tersenyum kecil lalu melanjutkan, "Sekalian biar gue bisa ketemu dokter Robert."
"You are crazy!" Aku menggelengkan kepala. "Pulang sana, Cel. Ntar lagi keponakan gue pulang, kan."
"Helen pulang masih lama, Leo. Tapi memang gue ada due date, sih. Jadi mau lanjut nulis juga. Ya udah, deh. Gue pulang, ya. Besok gue ke sini lagi." Aku dan Marcela berdiri dan membiarkan dia memeluk ku singkat.
Sepeninggalan Marcela, aku kembali ke kamar Wina. Ku pandangi dia yang masih memejamkan mata. Entah dia memang masih tidur, atau memang belum sadar sama sekali. Aku duduk di samping tempat tidurnya lalu ku gengam tangannya. Ia masih memakai cincin pernikahan kami. Seharusnya ini masih memberikan aku sedikit harapan, kan? Ku tatap jemarinya yang ramping. Kukunya polos tanpa cat kuku. Aku ingat bagaimana dulu ia suka memaksaku untuk mengecat kukunya dengan warna pink. Sekarang aku tidak ingat kapan terakhir kali aku melakukan itu untuknya.
"Kalau kamu sadar, aku janji akan cat kuku kamu, Wina." ucapku. "Aku akan memperlakukan kamu lebih baik." ku genggam tangannya lebih erat.
"Aku hampir kehilangan kamu dua kali, Win. Dan tau nggak kamu gimana rasanya? Rasanya aku mau mati saja kalau kamu nggak bangun lagi."
"Kasih aku kesempatan lagi, Wina. Biar aku bisa menebus kesalahanku dan membuat kamu jadi wanita paling bahagia di dunia ini." Ku belai pipinya. Ku tatap dia lekat-lekat. Untuk pertama kalinya kulihat kerutan di pinggir matanya. Akar rambutnya sudah menghitam, menunjukkan bahwa sudah saatnya dia harus mewarnai rambutnya lagi. Bibirnya itu, entah kapan terakhir kali ku cium dengan rasa sayang.
....i'm in the corner, watching you kiss her...
Lagu Calum Scott mengalun. Ku lihat sekelilingku. Ini pasti ponsel Wina. Ku rogoh tas tangannya yang diletakkan suster di atas nakas samping tempat tidurnya. Ada telepon dari Mama Wina. Damn.
"Halo, Ma." sapa ku.
"Loh, Leo? Wina mana?"
"Eng... mama apa kabar?" kataku mengalihkan perhatian.
"Mama dan Papa baik. Kamu?"
"Aku juga baik, Ma."
"Wina mana, Leo?" tanya Mama sekali lagi.
"Eng... Sebenarnya ini aku lagi jaga Wina di rumah sakit."
"Wina sakit apa?" Mama terdengar khawtir. Aku terdiam. Aku tidak tau harus berkata apa. Aku tidak mau mengatakan bahwa Wina mencoba bunuh diri dengan cara menenggelamkan dirinya di pantai.
"Leo..." desak Mama.
"Wina tenggelam kemarin, Ma." ku pejamkan mata ketika mengatakannya.
"Ha?? Apa? Di rumah sakit mana? Mama datang sekarang." Ku katakan pada Mama alamat rumah sakit dan di kamar mana Wina dirawat. Setelah Mama menutup teleponnya, ku pandangi Wina.
"Sekarang aku harus bilang apa ke Mama kamu, Wina?" Ku remas tangannya.
"Seharusnya kamu nggak perlu ngomong begitu ke Mama." ku dengar Wina berkata dengan lemah. Ku buka mataku lebar-lebar.
"Kamu udah...sadar?"
"Aku sudah sadar sejak Marcela datang ke sini."
"Aku panggil dokter dulu." Ia menarik tanganku.
"Leo, do you really wanna do this?" Ia menghela napas. "Do you really wanna fix our marriage?"
"I do, Wina. Aku akan memperlakukan kamu dengan lebih baik. Terlepas kita bisa punya anak atau tidak. Kita bisa mengadopsi, kalau itu yang kamu mau. Aku akan memutuskan hubungan ku dengan Lucy."
"Aku tau ini gila... tapi, bisakah kamu menghamili Lucy lalu membawa bayinya pada kehidupan kita?"
"Win! kamu gila! Tidak. Kalau untuk yang satu itu, tidak!" Wina memjamkan mata.
"Aku ingin punya anak, Leo." ucapnya pelan-pelan. Matanya sayu. Kata-kata itu menghujam jantungku rasanya.
"Kita adopsi saja." putusku.
"Tapi itu artinya dia bukan darah daging kamu. Apa kamu bisa mencintai anak yang bukan lahir dari kamu sendiri?"
"Bisa, Wina. Bisa. Asal kamu bisa bahagia, aku akan melakukan itu." Kami terdiam.
"Aku panggil dokter dulu." kataku akhirnya. Ku tekan tombol di atas kepala Wina dan tak lama seorang perawat muncul di hadapan kami.
"Ada yang bisa dibantu, Pak?" tanya perawat itu.
"Bisa panggil dokter? Istri saya sudah sadar." Perawat itu mengangguk lalu pergi.
Dokter Robert datang tak lama setelahnya. Ia memeriksa Wina dengan seksama lalu tersenyum. "Ibu Wina sudah tidak apa-apa. Tapi memang masih lemah. Kita bisa pindahkan Ibu Wina ke kamar rawat inap."
"Iya, Dok. Terimakasih." kataku pada Dokter Robert.
"Nanti suster yang urus ya, Pak." Dokter Robert berkata sambil melirik perawat di sampingnya. "Saya permisi dulu."
"Sus, saya mau ruang VVIP, ya. Nanti saya akan tanda tangan apapun itu dan berapapun biayanya." Perawat mengangguk.
"Baik, Pak. Kami siapkan dulu ruangannya lalu sekitar setengah jam, kita bisa memindahkan Ibu Wina ke kamar VVIP." Suster tersenyum lalu pergi.
"Jadi Mama akan ke sini?" tanya Wina. Aku mengangguk.
"Kamu tidak perlu mengatakan apapun. Biar aku yang bicara dengan Mama."
"Aku merasa bersalah sekali pada Mama dan Papa. Harusnya aku bisa membahagiakan kamu. Aku ini sudah gagal. Seandainya Papa tau bahwa aku ini bukan suami yang baik, Papa pasti akan memaksa kita untuk cerai. Aku...aku tidak bisa." Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan aku menahan tangisku, akhirnya air mata itu turun. "Aku... aku benar-benar minta maaf, Wina. Jangan pernah kamu berpikiran untuk meninggalkan aku lagi dan berharap aku akan baik-baik tanpa kamu." Wina menatapku dalam diam. Untuk pertama kalinya ia tersenyum. Bukan hanya menggerakkan satu sudut bibir, tapi kali ini benar-benar tersenyum. Aku sudah lupa secantik apa jika dia tersenyum. Cantik sekali! Air mataku semakin deras mengalir ketika aku melihat senyum yang ku rindukan itu. Ia membelai kepalaku dengan tangannya lalu berkata pelan, "Kamu harusnya mengatakan itu dari dulu." Ku bungkukkan tubuhkan lalu ku peluk dia. Pelukan pertama setelah apa yang telah terjadi di antara kami.
"Aku cinta kamu." Bisikku.
KAMU SEDANG MEMBACA
W'S
ChickLitTidak ada cinta. Setidaknya tidak ada cinta lagi di antara kami. Kami adalah dua orang yang dulu saling kenal yang tinggal di atap yang sama...