14

2.8K 297 7
                                    


  "Iya Leo! Aku tidak bisa memberikan kamu keturunan! It's not you, Leo... It's me! IT'S ME!" 

"It's not you, Leo... It's me! IT'S ME!"

Ku ulang adegan itu di kepalaku lagi dan lagi. Ku kenang lagi bagaimana wajah Wina ketika mengatakannya.  Wajah yang tersakiti luar biasa. Selama ini dia menyimpan semuanya sendiri. Enam tahun pernikahan kami, dan dia menyimpan rahasia besar ini sendirian selama tiga tahun. Suami macam apa aku ini! Aku bahkan tidak tau bahwa Wina sehancur itu!  

Ku tatap pintu kamar yang tertutup rapat. Sudah tiga jam Wina berada di kamar dan tidak menunjukkan bahwa ia akan keluar dari persembunyiannya. Aku masih terduduk di ruang televisi berharap Wina akan muncul lalu mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

'Lu berharap Wina bakal keluar dan bilang semuanya baik-baik aja? Gila lu!' seru otakku.

Jadi gue harus apaaaa? kuteriakkan pertanyaan itu dalam otakku.

'Knock the door, idiot!'

Ku tatap lagi pintu bercat putih itu. Okay, I'll knock. Ku langkahkan kaki ku hingga aku berada di depan pintu dan ku ketuk pelan.

"Win..." tidak ada jawaban apa-apa. Ku hembuskan napas panjang. Aku memang tidak mengharapkan dia akan segera membuka pintu dan memelukku, kok.

"Wina...boleh buka pintunya sebentar?" tanyaku. Ketika aku akan mengetuk lagi, pintu terbuka. Wina berdiri di hadapanku dengan rambut menutupi wajahnya. Beberapa helai rambut menempel di pipinya yang basah. Ku peluk istriku dengan rasa bersalah.

"I'm sorry, Wina." bisikku. "I didn't know that i hurt you... But, I mean it when I said I want to fix our marriage." Ku bungkukkan tubuhku agar bisa melihat wajah Wina dengan jelas namun Wina menolak melihat wajahku. 

"Wina... babe..."  ucapku padanya. Wina akhirnya menatapku. "Ya? Kita perbaiki pernikahan kita. Mulai lagi semua dari awal. I'll treat you better, babe." Ku tatap Wina dalam-dalam lalu saat itu juga ku rasakan ponselku bergetar di dalam kantongku. Aku mengumpat dalam hati. Idiot mana yang berani menghubungiku ketika aku sedang ingin merebut hati istriku lagi! Nampaknya Wina menyadari getaran hebat di kantongku, ia tersenyum kecut.

"Jawab saja." katanya. Aku masih terdiam. "Jawab telepon kamu, Leo." desaknya lagi. Ku rogoh ponselku dan ku lihat nama yang muncul di layar. Lucy. Ya.... Lucy, selingkuhanku.  Ku tatap Wina dengan perasaan bersalah luar biasa. Wina mendengus lalu berjalan masuk ke dalam kamar untuk mengambil tas tangan dan kunci mobilnya. Ia kemudian berjalan melalui ku.

"Wina...." panggilku.

"Just answer the phone, Leo." jawabnya tanpa berbalik.

"Wina, stop! Aku baru pulang dan kamu sekarang mau pergi? Maksud kamu apa?!" Teriakku kesal.

"Apa menurutmu hanya kamu aja yang bisa pergi keluar rumah berhari-hari lalu pulang seenaknya?" Wina berbalik dan memuntahkan semua kekesalannya.

"I'm here, now! I'm trying to fix this!"

"There's nothing to be fixed! Just answer her, she needs you right now. She needs your attention more than  I do. You know why?" Ia menatapku dengan tatapan dingin. "Because I am not that weak. I can handle everything by myself, Leo. I don't need you!" Ia lalu berbalik dan pergi meninggalkanku. Tak lupa juga ia membanting pintu untuk menambah kesan kemarahannya yang tidak bisa dibendung lagi.

Ponselku bergetar lagi. Masih Lucy. Ku tatap ponselku beberapa saat hingga ku putuskan untuk menjawabnya.

"Luce..." 

"I went home and you were not here. Where are you?"

"I'm home." jawabku.

"Oohh..." ku dengar nada kecewa di dalam suaranya. "I thought i could have you longer."

"I'm sorry, Luce. I need to be with Wina right now."

"Why?"

"She's my wife."

"And who am I to you?" tanya Lucy yang membuatku terbungkam.

"Hey, Luce... Listen. We discussed this. You understand that I'm a husband."

"I know that you are a husband. But Leo, you are also my lover! Aku tau kalau aku harusnya nggak berharap lebih dengan hubungan kita. Tapi aku nggak bisa ngebohongi diriku sendiri, Leo. Nggak bisa lagi! Aku berharap kamu bisa menceraikan Wina dan jadi milikku seutuhnya."

"Luce! Aku tidak akan menceraikan Wina!" tegasku. Lucy terdiam karena terkejut dengan reaksiku. Ini pertama kalinya aku berteriak padanya dan aku yakin ini membuatnya terpukul.

"Maaf, Lucy. Aku harus pergi." Ku putuskan hubungan telepon lalu melemparnya ke sofa.

Ku pandangi rumah kami yang sekarang terasa sunyi dan menyakitkan pada saat yang bersamaan. Ku lihat vacuum cleaner yang masih tergeletak lunglai karena Wina belum sempat membersihkan rumah kami. Baiklah. Aku akan memperbaiki pernikahan kami dan aku akan mulai dari membersihkan rumah ini agar bisa menjadi lebih baik ketika Wina pulang. Lalu aku akan berusaha sekuat tenagaku untuk meyakinkan istriku itu bahwa aku mencintainya.

.

.

.

Heeeyyyy!!! jangan lupa kasih bintang dan komen, ya. Pokoknya jejak apa aja.



love you.

xoxo

W'STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang