Bian sampai di kantor terlalu awal, dia melihat jam tangannya yang masih menunjukkan pukul 7.30 pagi. Pembantunya pagi ini sampai bingung dibuatnya, biasanya dia sarapan jam 8 lebih, jadi pagi ini pembantunya tergopoh-gopoh menyiapkan sarapan paginya.
"Ga usah mbok, ntar sarapan di luar aja." Begitu ujarnya pagi tadi kepada pembantunya yang sudah tua. Mbok Sum, merupakan pembantu yang sudah bekerja sejak Kedua orang tua Bian baru saja menikah, sudah hampir 30 tahun dia mengabdi. Sekarang diusianya yang hampir 70 tahun, Mbok Sum memilih untuk mengikuti Bian di rumah barunya, karena sudah menyayangi Bian seperti anaknya sendiri.
Hal pertama yang dilakukan ketika sampai di kantor adalah, memeriksa ruangan Nila, apakah sudah dipasang Ac atau belum. Bian menghela nafas kecewa, karena dia tidak melihat adanya AC di ruangan itu. Bian mengambil ponsel ddari saku celananya dan menelepon seseorang.
"Bro, ini Acnya kok belom dipasang?"
"Bian?" Suara disebrang sana tampak terkejut.
"Baru bangun lo?"
"Iya nih, jam berapa ini?" Noel melihat jam weker di meja, masih jam 7.45. "Eh sumpeh lo, ngapain lo kelayapan di kantor jam segini?"
"Ini Acnya kenapa belom dipasang?" Bian mengulangi pertanyaannya.
"Nanti sore, kan butuh beli dulu." Noel duduk di pinggir ranjang sambil mengucek matanya. Tiba-tiba dia tersadar akan sesuatu. "Heh lo, pagi-pagi udah inspeksi ruang kerjanya pooh, perhatian amat." Selidiknya.
"Nila noel, namanya Nila."
"Iya Nila, kenapa? Kemaren lo berdua makan siang bareng juga kan?"
"Ah udah mandi sana, bye." Bian langsung memutuskan telponnya dan masuk melihat-lihat ruangan itu, dia melihat beberapa baju yang sudah setengah jadi terpajang di manekin yang terbuat dari busa. Biar merabanya dan diam-diam mengagumi bakat Nila, memang perusahaannya membutuhkan desainer seperti dia.
Bian mendengar suara, dia melihat Nila melemparkan tasnya, mencopot sepatu dan menggelung rambutnya yang panjang berwarna kecoklatan dengan asal.
"pagi-pagi udah panas ya." Keluh Nila pada dirinya sendiri. Sepertinya Nila belum mengetahui keberadaan Bian di ruangan itu. Bian mengikuti arah gerak Nila yang sedang berdiri di tepi jendela, mengangkat kedua tangannya di atas dan mengerang meregangkan badannya. Nila mengingatkan Bian seperti kucing. Hari ini dia memakai yang nyaris serupa dengan kemarin, hanya saja sekarang dia memakai warna merah, membuat warna kulitnya yang putih pucat terlihat semakin pucat. "Semangat! Semang... AAAHH!! MAMI MAMI!" Nila melompat kebelakang saking kagetnya melihat Bian berdiri disana, jantungnya serasa mau copot atas lonjakan adrenaline yang tiba-tiba, nafasnya ngos-ngosan, Nila menekan jantungnya dengan kedua telapak tangan.
"Sorry..sorry." Bian buru-buru menghampiri Nila yang sepertinya terlalu shock dan badannya nyaris limbung, bian memapahnya duduk di kursi. Pandangan matanya tertuju pada kedua tangan Nila yang sedari tadi meremas-remas payudara kiri. "ehem." Bian berdehem berusaha mengalihkan perhatian.
"Saya yang maaf karena ga liat bapak."
"Kamu punya penyakit jantung?"
Nila meletakkan kedua tangannya di meja dengan canggung. "Seharusnya ga ada sih pak. Tapi memang kaget itu membuat badan sedikit lemas."
"Iya memang, dan maaf aku udah dua kali bikin kamu kaget."
"Ya namanya ga sengaja pak, jadi ya ga pa-pa."Nila tertawa kecil.
"Sudah sarapan kamu Nil?"
"Belum, tapi saya bawa bekal." Nila mengeluarkan kotak besar warna hijau dari ranselnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/9820724-288-k882859.jpg)